DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis untuk memantapkan perwujudan wawasan nusantara, memperkukuh ketahanan nasional, dan mempererat hubungan antar bangsa dalam usaha mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa penerbangan sebagai salah satu moda transportasi tidak dapat dipisahkan dari moda-moda transportasi lain yang ditata dalam sistem transportasi nasional, yang dinamis dan mampu mengadaptasi kemajuan dimasa depan, mempunyai karakteristik mampu mencapai tujuan dalam waktu cepat, berteknologi tinggi dan memerlukan tingkat keselamatan tinggi, perlu lebih dikembangkan potensinya dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung wilayah baik nasional maupun internasional, sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat;
c. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur penerbangan yang ada pada saat ini tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. bahwa untuk meningkatkan pembinaan dan penyelenggaraan penerbangan sesuai dengan perkembangan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia serta agar lebih berhasil guna dan berdayaguna dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai penerbangan dalam Undang-undang;
Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENERBANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Penerbangan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, keamanan dan keselamatan penerbangan, serta kegiatan dan fasilitas penunjang lain yang terkait;
2. Wilayah udara adalah ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan Republik Indonesia;
3. Pesawat udara adalah setiap alat yang dapat terbang di atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara;
4. Pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara yang didaftarkan dan mempunyai tanda pendaftaran Indonesia;
5. Pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan tenaganya sendiri;
6. Helikopter adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, dapat terbang dengan sayap berputar, dan bergerak dengan tenaganya sendiri;
7. Pesawat udara negara adalah pesawat udara yang dipergunakan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan pesawat udara instansi Pemerintah tertentu yang diberi fungsi dan kewenangan untuk menegakkan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
8. Pesawat udara sipil adalah pesawat udara selain pesawat udara negara;
9. Pesawat udara sipil asing adalah pesawat udara yang didaftarkan dan/atau mempunyai tanda pendaftaran negara bukan Indonesia;
10. Pesawat udara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia adalah pesawat udara negara yang dipergunakan dalam dinas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
11. Bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat kargo dan/atau pos, serta dilengkapi dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan sebagai tempat perpindahan antar moda transportasi;
12. Pangkalan udara adalah kawasan di daratan dan/atau di perairan dalam wilayah Republik Indonesia yang dipergunakan untuk kegiatan penerbangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
13. Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara;
14. Angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran;
15. Kelaikan udara adalah terpenuhinya persyaratan minimum kondisi pesawat udara dan/atau komponen-komponennya untuk menjamin keselamatan penerbangan dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penerbangan diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kepentingan umum, keterpaduan, kesadaran hukum, dan percaya pada diri sendiri.
Pasal 3
Tujuan penerbangan adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan berdayaguna, dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat, dengan mengutamakan dan melindungi penerbangan nasional, menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas, sebagai pendorong, penggerak, dan penunjang pembangunan nasional serta mempererat hubungan antar bangsa.
BAB III
KEDAULATAN ATAS WILAYAH UDARA
Pasal 4
Negara Republik Indonesia berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udara Republik Indonesia.
Pasal 5
Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, penerbangan, dan ekonomi nasional.
Pasal 6
(1) Untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara serta keselamatan penerbangan, Pemerintah menetapkan kawasan udara terlarang.
(2) Pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing dilarang terbang melalui kawasan udara terlarang, dan terhadap pesawat udara yang melanggar larangan dimaksud dapat dipaksa untuk mendarat di pangkalan udara atau bandar udara di dalam wilayah Republik Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai penetapan kawasan udara terlarang dan tindakan pemaksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PEMBINAAN
Pasal 7
(1) Penerbangan dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Penyelenggaraan penerbangan dilaksanakan berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini.
(3) Pembinaan penerbangan diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan penerbangan dalam keseluruhan moda transportasi secara terpadu, terwujudnya sarana dan prasarana penerbangan yang andal, sumber daya manusia yang profesional serta didukung industri pesawat terbang nasional yang tangguh, dengan memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(4) Pembinaan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
Prasarana dan sarana penerbangan yang dioperasikan wajib mempunyai keandalan dan memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan.
BAB V
PENDAFTARAN DAN KEBANGSAAN PESAWAT UDARA
SERTA PENGGUNAANNYA SEBAGAI JAMINAN
Pasal 9
(1) Pesawat udara yang dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran.
(2) Pesawat udara sipil yang dapat memperoleh tanda pendaftaran Indonesia adalah pesawat udara yang tidak didaftarkan di negara lain dan memenuhi salah satu ketentuan sebagai berikut:
a. dimiliki oleh warga negara Indonesia atau dimiliki oleh badan hukum Indonesia;
b. dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing dan dioperasikan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia untuk jangka waktu pemakaiannya minimal dua tahun secara terus menerus berdasarkan suatu perjanjian sewa beli, sewa guna usaha atau bentuk perjanjian lainnya;
c. dimiliki oleh instansi Pemerintah;
d. dimiliki oleh lembaga tertentu yang diizinkan Pemerintah.
(3) Ketentuan mengenai pendaftaran pesawat udara sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan pendaftaran pesawat udara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 10
(1) Selain tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), pesawat terbang dan helikopter yang dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda kebangsaan.
(2) Tanda kebangsaan Indonesia hanya diberikan kepada pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran Indonesia.
(3) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh dan mencabut tanda kebangsaan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan jenis-jenis pesawat terbang dan helikopter tertentu yang dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki tanda kebangsaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Dilarang memberi atau mengubah tanda-tanda pada pesawat udara sipil sedemikian rupa sehingga menyerupai pesawat udara negara.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku terhadap pesawat terbang dan helikopter.
Pasal 12
(1) Pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani hipotek.
(2) Pembebanan hipotek pada pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didaftarkan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PENGGUNAAN PESAWAT UDARA
Pasal 13
(1) Pesawat udara yang dapat digunakan di wilayah Republik Indonesia hanya pesawat udara Indonesia.
(2) Penggunaan pesawat udara sipil asing dari dan ke atau melalui wilayah Republik Indonesia, hanya dapat dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral atau perjanjian multilateral atau izin khusus Pemerintah.
(3) Penggunaan pesawat udara negara asing dari dan ke atau melalui wilayah Republik Indonesia, hanya dapat dilakukan berdasarkan izin khusus Pemerintah.
(4) Izin khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
Jenis dan penggunaan pesawat udara sipil dan pesawat udara negara diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemernitah.
Pasal 15
(1) Setiap pesawat udara sipil Indonesia atau asing yang tiba di atau berangkat dari Indonesia, hanya dapat mendarat di atau tinggal landas dari bandar udara yang ditetapkan untuk itu.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku dalam keadaan darurat.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
Dilarang menerbangkan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain.
Pasal 17
(1) Dilarang melakukan perekaman dari udara dengan menggunakan pesawat udara kecuali atas izin Pemerintah.
(2) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN
Pasal 18
(1) Setiap personil penerbangan wajib memiliki sertifikat kecakapan.
(2) Sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
(3) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Setiap pesawat udara yang dipergunakan untuk terbang wajib memiliki sertifikat kelaikan udara.
(2) Untuk memperoleh sertifikat kelaikan udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pemeriksaan dan pengujian.
(3) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh sertifikat kelaikan udara serta ketentuan mengenai pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
Setiap fasilitas dan/atau peralatan penunjang penerbangan wajib memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan.
Pasal 21
(1) Persyaratan keselamatan penerbangan dalam kegiatan rancang bangun, pembuatan, perakitan, perawatan, dan penyimpanan pesawat udara termasuk komponen-komponen, dan suku cadangnya ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku terhadap pesawat terbang dan helikopter.
Pasal 22
(1) Dalam rangka keselamatan penerbangan, pesawat udara yang terbang di wilayah Republik Indonesia diberikan pelayanan navigasi penerbangan.
(2) Pemberian pelayanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan biaya.
(3) Persyaratan dan tata cara pemberian pelayanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
(1) Selama terbang, kapten penerbang pesawat udara yang bersangkutan mempunyai wewenang mengambil tindakan untuk keamanan dan keselamatan penerbangan.
(2) Jenis dan bentuk tindakan yang dapat diambil untuk keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
Pencegahan dan penanggulangan tindakan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan penerbangan termasuk yang membahayakan pertahanan dan keamanan negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
BANDAR UDARA
Pasal 25
(1) Pemerintah menetapkan bagian wilayah darat dan/atau perairan Republik Indonesia untuk dipergunakan sebagai bandar udara.
(2) Penentuan lokasi, pembuatan rancang bangun, perencanaan, dan pembangunan bandar udara termasuk kawasan di sekelilingnya wajib memperhatikan ketentuan keamanan penerbangan, keselamatan penerbangan, dan kelestarian lingkungan kawasan bandar udara.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Penyelenggaraan bandar udara untuk umum dan pelayanan navigasi penerbangan dilakukan oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada badan usaha milik negara yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Badan hukum Indonesia dapat diikutsertakan dalam penyelenggaraan bandar udara untuk umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atas dasar kerja sama dengan badan usaha milik negara yang melaksanakan penyelenggaraan bandar udara untuk umum.
(3) Pengadaan, pengoperasian, dan perawatan fasilitas penunjang bandar udara untuk umum dapat dilakukan oleh Pemerintah atau badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
(1) Dalam rangka menunjang kegiatan tertentu dapat diselenggarakan bandar udara khusus.
(2) Pembangunan dan/atau pengoperasian bandar udara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan izin Pemerintah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), perawatan dan pengoperasian serta pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara khusus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
Dilarang berada di bandar udara, mendirikan bangunan atau melakukan kegiatan-kegiatan lain di dalam maupun di sekitar bandar udara yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan.
Pasal 29
Ketentuan mengenai status, kelas, dan penggunaan bandar udara untuk keperluan penerbangan internasional dan/atau domestik diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
(1) Penyelenggara bander udara bertanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan penerbangan serta kelancaran pelayanannya.
(2) Tanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayal (1) yang wajib diasuransikan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
Struktur dan golongan tarif penggunaan fasilitas dan jasa yang diberikan di bandar udara ditetapkan oleh Pemerintah.
BAB IX
PENCARIAN DAN PERTOLONGAN KECELAKAAN
SERTA PENELITIAN SEBAB-SEBAB KECELAKAAN
PESAWAT UDARA
Pasal 32
Pemerintah wajib melakukan pencarian dan pertolongan terhadap setiap pesawat udara yang mengalami kecelakaan di wilayah Republik Indonesia.
Pasal 33
(1) Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara wajib membantu usaha pencarian dan pertolongan terhadap kecelakaan pesawat udara.
(2) Pengaturan mengenai pencarian dan pertolongan terhadap pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
(1) Pemerintah melakukan penelitian mengenai penyebab setiap kecelakaan pesawat udara yang terjadi di wilayah Republik Indonesia.
(2) Setiap orang dilarang merusak atau menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, mengambil bagian pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat dari kecelakaan pesawat udara sebelum dilakukan penelitian terhadap penyebab kecelakaan tersebut.
(3) Ketentuan mengenai penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
Dalam hal pesawat udara asing mengalami kecelakaan di wilayah Republik Indonesia, wakil pemerintah tempat pesawat udara didaftarkan, wakil perusahaan angkutan udara yang bersangkutan, dan wakil pabrik pesawat udara yang bersangkutan dapat disertakan sebagai peninjau dalam penelitian.
BAB X
ANGKUTAN UDARA
Pasal 36
(1) Kegiatan angkutan udara niaga yang melayani angkutan di dalam negeri atau ke luar negeri hanya dapat diusahakan oleh badan hukum Indonesia yang telah mendapat izin.
(2) Kegiatan angkutan udara bukan niaga dapat dilakukan oleh Pemerintah atau badan hukum Indonesia, lembaga tertentu atau perorangan warga negara Indonesia yang telah mendapat izin.
(3) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37
(1) Usaha angkutan udara niaga dilakukan secara berjadwal dan tidak berjadwal.
(2) Ketentuan mengenai penetapan jaringan dan rute penerbangan dalam negeri untuk angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan mempertimbangkan keterpaduan antar moda angkutan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Penetapan jaringan dan rute penerbangan international diatur oleh Pemerintah berdasarkan perjanjian antar negara.
Pasal 38
(1) Pemerintah menyelenggarakan angkutan udara perintis untuk melayani jaringan dan rute penerbangan yang menghubungkan daerah-daerah terpencil dan pedalaman atau yang sukar terhubungi oleh moda transportasi lain.
(2) Penyelenggaraan angkutan udara perintis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 39
Perusahaan angkutan udara asing dilarang melakukan angkutan udara niaga di dalam negeri.
Pasal 40
Struktur dan golongan tarif angkutan udara niaga, ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 41
(1) Perusahaan angkutan udara niaga, wajib mengangkut orang dan/atau barang, setelah disepakati perjanjian pengangkutan.
(2) Tiket penumpang atau tiket bagasi merupakan tanda bukti telah disepakati perjanjian pengangkutan dan pembayaran biaya angkutan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 42
(1) Penyandang cacat dan orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam angkutan udara niaga.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
(1) Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga bertanggungjawab atas:
a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
b. musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;
c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.
(2) Batas jumlah ganti rugi terhadap tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
(1) Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara bertanggungjawab terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian pesawat udara atau kecelakaan pesawat udara atau jatuhnya benda-benda lain dari pesawat udara yang dioperasikan.
(2) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh ganti rugi dan batas jumlah ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemernitah.
Pasal 45
Pengangkutan udara yang dilakukan berturut-turut oleh beberapa perusahaan angkutan udara, dianggap sebagai satu pengangkutan udara, apabila oleh pihak-pihak yang bersangkutan diperjanjikan sebagai satu perjanjian pengangkutan udara.
Pasal 46
Dalam pengangkutan campuran yang sebagian dilaksanakan melalui angkutan udara dan sebagian melalui moda angkutan lainnya, ketentuan dalam Undang-undang ini hanya berlaku untuk tanggung jawab dalam rangka pengangkutan udara.
Pasal 47
Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara wajib mengasuransikan tanggungjawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dan Pasal 44 ayat (1).
Pasal 48
Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara wajib mengasuransikan awak pesawat udara yang dipekerjakannya.
Pasal 49
(1) Dalam keadaan tertentu pesawat udara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dapat dipergunakan untuk keperluan angkutan udara sipil dan sebaliknya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
DAMPAK LINGKUNGAN
Pasal 50
(1) Untuk mencegah terganggunya kelestarian lingkungan hidup, setiap pesawat udara wajib memenuhi persyaratan ambang batas tingkat kebisingan.
(2) Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara wajib mencegah terganggunya kelestarian lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal. 51 Standar mengenai tingkat kebisingan pesawat udara di bandar udara dan sekitarnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 52
(1) Selain pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penerbangan, dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang penerbangan, kecuali tindak pidana yang diancam hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang untuk:
a. melakukan, pemeriksaan atas kebenaran laporan, pengaduan atau keterangan tentang adanya tindak pidana;
b. memanggil dan memeriksa saksi dan/atau tersangka;
c. melakukan penggeledahan, penyegelan dan/atau penyitaan alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
d. melakukan pemeriksaan tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan kepada saksi-saksi dan mengumpulkan barang bukti dari orang dan/atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana;
f. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana.
(3) Pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 53
Penyidikan terhadap pelanggaran wilayah udara termasuk kawasan udara terlarang yang mengakibatkan tindakan pemaksaan mendarat oleh pesawat udara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, dan penyelesaian hukumnya di-lakukan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 54
Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara melalui kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah).
Pasal 55
Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara yang tidak mempunyai tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 56
Barangsiapa mengoperasikan pesawat terbang dan helikopter yang tidak mempunyai tanda kebangsaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 57
Barangsiapa memberi atau mengubah tanda-tanda pada pesawat udara sipil sedemikian rupa sehingga menyerupai pesawat udara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp18.000.000,- (delapan belas juta rupiah).
Pasal 58
Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara asing dari, ke atau melalui wilayah Republik Indonesia dengan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).
Pasal 59
Barangsiapa melakukan pendaratan atau tinggal landas dengan menggunakan pesawat udara tidak di atau dari bandar udara yang ditetapkan untuk itu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 60
Barangsiapa menerbangkan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk, atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).
Pasal 61
Barangsiapa tanpa izin Pemerintah melakukan perekaman dari udara dengan menggunakan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).
Pasal 62
Barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 63
Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki sertifikat kelaikan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 64
Barangsiapa mengoperasikan fasilitas dan/atau peralatan penunjang penerbangan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp18.000.000,- (delapan belas juta rupiah).
Pasal 65
Barangsiapa membangun dan/atau mengoperasikan bandar udara khusus tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Pasal 66
Barangsiapa tanpa hak berada di tempat-tempat tertentu di bandar udara, mendirikan bangunan atau melakukan kegiatan lain di dalam atau di sekitar bandar udara yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp18.000.000,- (delapan belas juta rupiah).
Pasal 67
Barangsiapa tidak membantu usaha pencarian dan pertolongan terhadap pesawat udara yang mengalami kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) walaupun telah diberitahukan secara patut oleh pejabat yang berwenang, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 68
(1) Barangsiapa tanpa hak merusak atau menghilangkan bukti-bukti atau mengubah letak pesawat udara, atau mengambil bagian pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat dari kecelakaan pesawat udara, sebelum dilakukan penelitian terhadap penyebab kecelakaan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp18.000.000,- (delapan belas juta rupiah).
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan bukti-bukti mengenai penyebab kecelakaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).
Pasal 69
Barangsiapa melakukan kegiatan angkutan udara niaga atau bukan niaga tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp18.000.000.- (delapan belas juta rupiah).
Pasal 70
Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara dan tidak mengasuransikan tanggungjawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp36.000.000,-.(tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 71
Barangsiapa tidak mengasuransikan awak pesawat udara yang dipekerjakannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 terhadap resiko terjadinya kecelakaan pesawat udara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 72
Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara yang tidak memenuhi persyaratan ambang batas tingkat kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 73
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 58, Pasal 60, Pasal 61, dan Pasal 68 ayat (2) adalah kejahatan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57 Pasal 59, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 Pasal 67, Pasal 69 ayat (1). Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71 dan Pasal 72 adalah pelanggaran.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 74
Dengan berlakunya Undang-undang ini maka:
a. Ordonansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonnantie Staatsblad Tahun, 1939 Nomor 100) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini atau belum diganti dengan Undang-undang yang baru;
b. semua peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 93 Tahun 1958 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1687) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XV
PENUTUP
Pasal 75
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1687), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 76
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 17 September 1992.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 25 Mei 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Mei 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1992 NOMOR 53
________________________________________
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 1992
TENTANG
PENERBANGAN
UMUM
Bahwa berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa Negara Republik Indonesia telah dianugerahi sebagai negara kepulauan yang terdiri dari beribu pulau, terletak memanjang di garis khatulistiwa, di antara dua benua dan dua samudera, oleh karena itu mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dan strategis dalam hubungan antar bangsa.
Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, transportasi memiliki posisi yang penting dan strategis dalam pembangunan bangsa yang berwawasan lingkungan dan hal ini harus tercermin pada kebutuhan mobilitas seluruh sektor dan wilayah.
Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan, mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara serta mempererat hubungan antar bangsa.
Pentingnya transportasi tersebut tercermin pada semakin meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta barang dari dan ke seluruh pelosok tanah air, bahkan dari dan ke luar negeri.
Di samping itu, transportasi juga berperan sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah yang berpotensi namun belum berkembang, dalam upaya peningkatan dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya.
Menyadari peranan transportasi, maka penyelenggaraan penerbangan harus ditata dalam satu kesatuan sistem transportasi nasional secara terpadu dan mampu mewujudkan penyediaan jasa transportasi yang seimbang dengan tingkat kebutuhan dan tersedianya pelayanan angkutan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib, teratur, nyaman, dan efisien dengan biaya yang wajar serta terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Penerbangan yang mempunyai karakteristik dan keunggulan tersendiri perlu dikembangkan dengan memperhatikan sifatnya yang padat modal sehingga mampu meningkatkan pelayanan yang lebih luas baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.
Pengembangan penerbangan yang ditata dalam satu kesatuan sistem, dilakukan dengan mengintegrasikan dan mendinamisasikan unsur-unsurnya yang terdiri dari prasarana dan sarana penerbangan, peraturan-peraturan, prosedur dan metoda sedemikian rupa sehingga terwujud suatu totalitas yang utuh, berdayaguna, berhasilguna serta dapat diterapkan.
Mengingat penting dan strategisnya peranan penerbangan yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka penerbangan dikuasai oleh negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
Penyelenggaraan penerbangan perlu diselenggarakan secara berkesinambungan dan terus ditingkatkan agar lebih luas daya jangkau dan pelayanannya kepada masyarakat dengan memperhatikan sebesar-besar kepentingan umum dan kemampuan masyarakat, kelestarian lingkungan, koordinasi antar wewenang pusat dan daerah serta antar instansi, sektor, dan antar unsur terkait serta pertahanan dan keamanan negara, sekaligus dalam rangka mewujudkan sistem transportasi nasional yang andal dan terpadu.
Keseluruhan hal tersebut perlu dicerminkan dalam satu Undang-undang yang utuh.
Dalam Undang-undang ini juga diatur mengenai hak, kewajiban serta tanggung jawab para penyedia jasa dan para pengguna jasa, dan tanggung jawab penyedia jasa terhadap kerugian pihak ketiga sebagai akibat dari penyelenggaraan penerbangan serta pembebanan hipotek terhadap pesawat terbang dan helikopter yang telah memperoleh tanda pendaftaran Indonesia.
Di samping itu dalam rangka pembangunan hukum nasional serta untuk lebih memantapkan perwujudan kepastian hukum, Undang-undang Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan, perlu diganti dengan Undang-undang ini, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan belum tertata dalam satu kesatuan sistem yang merupakan bagian dari transportasi secara keseluruhan.
Mengingat Indonesia sebagai salah satu negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization, disingkat ICAO), maka ketentuan-ketentuan penerbangan internasional sebagaimana tercantum dalam Konvensi Chicago 1944 beserta Annexes dan dokumen-dokumen teknis operasionalnya serta konvensi-konvensi internasional terkait lainnya, merupakan ketentuan-ketentuan yang harus ditaati sesuai dengan kepentingan nasional.
Dalam Undang-undang ini diatur hal-hal yang bersifat pokok, sedangkan yang bersifat teknis dan operasional diatur dalam Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Tidak termasuk pengertian pesawat udara adalah alat-alat yang dapat terbang bukan oleh daya angkat dari reaksi udara, melainkan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi, misalnya roket.
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Yang dimaksud dengan lapangan terbang dalam ketentuan ini adalah kawasan di daratan atau perairan yang dipergunakan untuk lepas landas dan/atau pendaratan pesawat udara.
Angka 12
Cukup jelas
Angka 13
Cukup jelas
Angka 14
Cukup jelas
Angka 15
Cukup jelas
Pasal 2
Dalam ketentuan pasal ini yang dimaksud dengan:
a. asas manfaat yaitu, bahwa penerbangan harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan perikehidupan yang berkeseimbangan bagi warga negara, serta upaya peningkatan pertahanan dan keamanan negara;
b. asas usaha bersama dan kekeluargaan yaitu, bahwa penyelenggaraan usaha di bidang penerbangan dilaksanakan untuk mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan;
c. asas adil dan merata yaitu, bahwa penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat;
d. asas keseimbangan yaitu, bahwa penerbangan harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana, antara kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan internasional;
e. asas kepentingan umum yaitu, bahwa penyelenggaraan penerbangan harus mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas;
f. asas keterpaduan yaitu, bahwa penerbangan harus merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi baik intra maupun antar moda transportasi;
g. asas kesadaran hukum yaitu, bahwa mewajibkan kepada pemerintah untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia untuk selalu sadar dan taat kepada hukum dalam penyelenggaraan penerbangan;
h. asas percaya pada diri sendiri yaitu, bahwa penerbangan harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, serta bersendikan kepada kepribadian bangsa.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Sebagai negara berdaulat, Republik Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan utuh di wilayah udara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional.
Ketentuan dalam pasal ini hanya menegaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab negara Republik Indonesia untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah dirgantara Indonesia, sedangkan mengenai kedaulatan atas wilayah Republik Indonesia secara menyeluruh tetap berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia.
Pasal 5
Wilayah udara yang berupa ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional sehingga harus dimanfaatkan bagi sebesar-besar kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
Pasal 6
Ayat (1)
Kewenangan menetapkan kawasan udara terlarang merupakan kewenangan dari setiap negara berdaulat untuk mengatur penggunaan wilayah udaranya, dalam rangka pertahanan keamanan negara dan keselamatan penerbangan.
Kawasan udara terlarang dalam ketentuan ini mengandung dua pengertian yaitu:
a. kawasan udara terlarang yang larangannya bersifat tetap (prohibited area) karena pertimbangan pertahanan dan keamanan negara serta keselamatan penerbangan;
b. kawasan udara terlarang yang larangannya bersifat terbatas (restricted area) karena pertimbangan pertahanan dan keamanan atau keselamatan penerbangan atau kepentingan umum misalnya pembatasan ketinggian terbang, pembatasan waktu operasi, dan lain-lain.
Ayat (2)
Penegakan hukum terhadap ketentuan ini dilakukan dengan menggunakan pesawat udara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang pertahanan dan keamanan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Pengertian dikuasai oleh negara adalah bahwa negara mempunyai hak penguasaan atas penyelenggaraan penerbangan yang perwujudannya meliputi aspek-aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.
Dalam aspek pengaturan, tercakup perumusan dan penentuan kebijaksanaan umum maupun teknis yang antara lain berupa persyaratan keselamatan dan perizinan.
Aspek pengendalian dilakukan baik di bidang pembangunan maupun operasi berupa pengarahan dan bimbingan.
Sedangkan aspek pengawasan dilakukan terhadap penyelenggaraan penerbangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam pengertian memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, termasuk memperhatikan lingkungan hidup, tata ruang, energi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, hubungan internasional, serta pengembangan potensi yang ada dalam masyarakat dalam rangka meningkatkan kemampuan penerbangan nasional yang lebih luas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 8
Yang dimaksud dengan mempunyai keandalan adalah kondisi prasarana yang siap pakai dan secara teknis laik untuk dioperasikan serta sarana yang laik udara.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tanda pendaftaran dalam ketentuan ini adalah tanda pendaftaran Indonesia atau asing.
Pengertian dioperasikan dalam ayat ini adalah dipakai untuk terbang.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Sepanjang kebutuhan angkutan udara di Indonesia belum terpenuhi, pesawat udara yang dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing, dapat didaftarkan di Indonesia apabila memenuhi ketentuan dalam ayat ini.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan lembaga tertentu antara lain lembaga sosial, keagamaan, pendidikan, dan olah raga. Sedangkan yang dimaksud dengan izin Pemerintah adalah izin untuk melakukan kegiatan tertentu di Indonesia dan izin untuk dapat menggunakan pesawat udara dalam rangka menunjang kegiatannya.
Ayat (3)
Sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan, dalam Peraturan Pemerintah dapat diatur mengenai bentuk-bentuk perjanjian lainnya yang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mendaftarkan di Indonesia, pesawat udara milik warga negara asing atau badan hukum asing, dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam Undang-undang ini.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan jenis-jenis pesawat terbang tertentu yang merupakan hasil pengembangan teknologi antara lain adalah pesawat terbang sangat ringan (ultra light).
Mengingat pengoperasian ultra light sangat terbatas dan terhadap ultra light tidak berlaku ketentuan Konvensi Chicago 1944, maka tidak diwajibkan untuk memiliki tanda kebangsaan.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Berdasarkan pertimbangan keamanan dan ketertiban, ketentuan dalam pasal ini diberlakukan pula terhadap jenis-jenis pesawat udara tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 12
Ayat (1)
Terhadap hipotek pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini berlaku ketentuan-ketentuan hipotek dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia.
Ketentuan dalam pasal ini tidak menutup pembebanan pesawat terbang dan helikopter dengan hak jaminan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kata digunakan dalam ketentuan ini adalah dioperasikan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 14
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencapai optimalisasi dalam pengoperasian pesawat udara, melalui pengaturan jenis dan penggunaan pesawat udara pada rute atau daerah operasi tertentu, dengan memperhatikan perkembangan industri pesawat udara dalam negeri dan perkembangan angkutan udara nasional.
Dalam Peraturan Pemerintah diatur jenis dan penggunaan pesawat udara sipil untuk angkutan udara niaga dan bukan niaga, serta jenis dan penggunaan pesawat udara negara untuk Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Bea dan Cukai, dan lain-lain instansi.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dalam keadaan darurat adalah suatu keadaan yang memaksa, sehingga harus dilakukan pendaratan di luar bandar udara yang telah ditetapkan, misalnya karena terjadi kerusakan mesin atau kehabisan bahan bakar atau cuaca buruk yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan apabila penerbangan tetap dilanjutkan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 16
Kegiatan yang membahayakan tersebut antara lain terbang di luar jalur yang ditentukan, terbang tidak membawa peralatan keselamatan, terbang di atas kawasan udara terlarang, dan juga dapat membahayakan kelestarian lingkungan hidup.
Pasal 17
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah dilakukannya kegiatan perekaman dengan menggunakan pesawat udara yang dilengkapi dengan alat-alat perekam dalam bentuk apapun, sehingga dapat membahayakan kepentingan pertahanan dan keamanan negara.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan personil penerbangan adalah orang yang mempunyai kecakapan tertentu yang tugasnya secara langsung mempengaruhi keselamatan penerbangan.
Ayat (2)
Berdasarkan pertimbangan keselamatan penerbangan, sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini ditetapkan batas waktunya, dan untuk memperoleh perpanjangan masa berlakunya dilakukan kegiatan antara lain pengujian kecakapan dan pengujian kesehatan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Fasilitas penerbangan ialah peralatan-peralatan yang dibutuhkan langsung untuk navigasi penerbangan antara lain peralatan sistem pendaratan, sistem komunikasi, meteorologi sedangkan peralatan penunjang berupa peralatan yang tidak secara langsung mempengaruhi keamanan dan keselamatan penerbangan antara lain peralatan perbengkelan.
Pasal 21
Ayat (1)
Ketentuan ini merupakan persyaratan yang harus diperhatikan dalam rangka keselamatan penerbangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Pelayanan navigasi penerbangan (air navigation) dalam ketentuan ini antara lain terdiri dari pelayanan lalu lintas udara, meteorologi, komunikasi penerbangan, dan fasilitas bantu navigasi penerbangan.
Ayat (2)
Pendapatan yang diperoleh sebagai hasil pemberian pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, dikelola sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan selama terbang dalam ketentuan ini adalah sejak saat semua pintu luar pesawat udara ditutup setelah naiknya penumpang (embarkasi) sampai saat pintu dibuka untuk penurunan penumpang (debarkasi).
Kewenangan yang diatur dalam Undang-undang ini untuk memberi landasan hukum bagi tindakan yang diambil oleh kapten penerbang dalam rangka keamanan dan keselamatan penerbangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Penyelenggaraan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini meliputi kegiatan perencanaan, pembangunan, pengoperasian, perawatan, dan pengawasan serta pengendalian.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Fasilitas penunjang bandar udara adalah fasilitas yang diperlukan untuk memperlancar arus lalu lintas penumpang, kargo, dan pos di bandar udara, antara lain hotel, jasaboga, toko, gundang, hanggar, parkir, dan jasa perawatan pada umumnya.
Ayat (4)
Dalam Peraturan Pemerintah diatur pula ketentuan mengenai penggunaan bersama suatu bandar udara atau pangkalan udara untuk penerbangan sipil dan penerbangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (enclave sipil dan enclave militer).
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bandar udara khusus adalah bandar udara yang penggunaannya hanya untuk menunjang kegiatan tertentu dan tidak dipergunakan untuk umum.
Ayat (2)
Pengawasan dan pengendalian terhadap.bandar udara khusus tetap dilaksanakan oleh Pemerintah.
Ayat (3)
Dalam Peraturan Pemerintah diatur pula ketentuan mengenai kemungkinan penggunaan bandar udara khusus untuk umum.
Pasal 28
Pengertian berada di bandar udara dalam ketentuan ini adalah berada tanpa izin di daerah-daerah tertentu di bandar udara yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan.
Yang dimaksud dengan bangunan antara lain adalah bangunan yang secara pisik membahayakan operasi lalu lintas udara, yang dapat berupa gedung, tumpukan tanah, tumpukan bahan bangunan, atau benda-benda galian baik bersifat sementara ataupun bersifat tetap.
Ketentuan ini juga berlaku terhadap bangunan yang sebelumnya telah didirikan atau tanaman yang kemudian ternyata dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan.
Yang dimaksud dengan kegiatan-kegiatan lain dalam ketentuan ini antara lain adalah kegiatan yang dapat mengganggu komunikasi penerbangan dan navigasi penerbangan.
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Tanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan penerbangan serta kelancaran pelayanan termasuk keamanan dan keselamatan calon penumpang dan penumpang selama berada di sisi udara dari bandar udara yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31
Dengan berpedoman pada struktur dan golongan tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah. penyelenggara bandar udara menetapkan tarif dengan memperhatikan kelangsungan dan pengembangan usaha penyelenggara bandar udara dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan.
Pasal 32
Pengertian pencarian dan pertolongan (search and rescue) dalam ketentuan ini adalah pencarian terhadap pesawat udara dan manusia yang menjadi korban, sedangkan pertolongan hanya terhadap manusia.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Penelitian mengenai penyebab kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, dilakukan oleh suatu panitia yang anggotanya terdiri dari para ahli di bidang penerbangan dan bidang-bidang lain sesuai kebutuhan.
Semua keterangan atau data yang ditemukan dari kegiatan penelitian tidak dimaksudkan untuk mempertanggungjawabkan kesalahan pada pihak-pihak yang terkait, melainkan untuk mencegah jangan sampai terjadi lagi kecelakaan pesawat udara dengan penyebab yang sama.
Ayat (2)
Untuk keperluan penyelamatan para korban dan keselamatan penerbangan serta keselamatan umum yang disebabkan oleh kecelakaan dimaksud para petugas yang berwenang dapat melakukan tindakan merusak, mengubah letak pesawat udara atau mengambil bagian pesawat udara dan lain-lain sebelum dilakukan penelitian penyebab kecelakaan pesawat udara tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 35
Kata dapat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa bukan merupakan suatu kewajiban untuk mengikutsertakan wakil pemerintah tempat pesawat udara didaftarkan dan/atau wakil perusahaan angkutan udara dan/atau wakil pabrik pesawat udara yang bersangkutan sebagai peninjau dalam penelitian.
Pengertian peninjau dalam ketentuan ini adalah pengamat (observer) dalam pelaksanaan penelitian.
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan badan hukum Indonesia adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik swasta, dan koperasi.
Ayat (2)
Kegiatan angkutan udara bukan niaga yang dilaksanakan oleh badan hukum Indonesia atau perorangan adalah yang kegiatan pokoknya bukan usaha angkutan udara dan hanya untuk mendukung kegiatan pokok tersebut, misalnya perusahaan perkebunan, perusahaan minyak, dan lain sebagainya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan secara berjadwal adalah pelayanan angkutan udara niaga dalam rute penerbangan yang dilakukan secara tetap dan teratur, sedangkan yang dimaksud dengan secara tidak berjadwal adalah pelayanan angkutan udara niaga yang tidak terikat pada rute serta jadwal penerbangan yang tetap dan teratur.
Ayat (2)
Penetapan jaringan dan rute penerbangan bertujuan di samping untuk kepentingan kelangsungan hidup perusahaan angkutan udara juga untuk menjamin tersedianya jasa angkutan udara yang diperlukan oleh pengguna jasa ke seluruh pelosok wilayah Republik Indonesia, termasuk jaringan dan rute angkutan udara perintis.
Ayat (3)
Penentuan jaringan dan rute penerbangan internasional dibicarakan dalam negosiasi perjanjian antar negara dengan memanfaatkan wilayah udara nasional bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Delegasi Indonesia dalam negosiasi terdiri dari instansi pemerintah yang terkait dan perusahaan angkutan udara yang akan melayani rute tersebut.
Pasal 38
Ayat (1)
Guna membuka isolasi dan mengembangkan semua daerah dan pulau terpencil, angkutan udara perintis diselenggarakan oleh pemerintah dengan mengikutsertakan angkutan udara niaga nasional yang dapat diberi kemudahan tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Dalam penetapan struktur dan golongan tarif angkutan udara niaga domestik, Pemerintah memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan penyelenggara angkutan udara niaga.
Pemerintah menetapkan tarif yang berorientasi kepada kepentingan dan kemampuan masyarakat luas, termasuk tarif untuk angkutan udara perintis.
Dengan berpedoman pada struktur dan golongan tarif tersebut penyelenggara angkutan udara niaga menetapkan tarif yang berorientasi kepada kelangsungan dan pengembangan usaha angkutan udara niaga dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan.
Tarif angkutan udara niaga internasional ditetapkan berdasarkan perjanjian internasional.
Pasal 41
Ayat (1)
Ketentuan wajib angkut ini dimaksudkan agar perusahaan angkutan udara niaga tidak melakukan perbedaan perlakuan terhadap pengguna jasa angkutan, sepanjang yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan sesuai perjanjian pengangkutan yang disepakati.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Pelayanan khusus bagi penumpang yang menyandang cacat atau orang sakit dimaksudkan agar mereka juga dapat menikmati pelayanan angkutan udara dengan baik.
Yang dimaksud pelayanan khusus dalam ketentuan ini dapat berupa pembuatan jalan khusus di bandar udara dan sarana khusus untuk naik ke atau turun dari pesawat udara, atau penyediaan ruang yang disediakan khusus bagi penempatan kursi roda atau sarana bantu bagi orang sakit yang pengangkutannya mengharuskan dalam posisi tidur.
Yang dimaksud dengan cacat dalam ketentuan ini misalnya penumpang yang menggunakan kursi roda karena lumpuh, cacat kaki, tuna netra, dan sebagainya.
Tidak termasuk dalam pengertian orang sakit dalam ketentuan ini adalah orang yang menderita penyakit menular sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Huruf a
Tanggung jawab perusahaan angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah apabila kematian atau lukanya penumpang diakibatkan karena kecelakaan selama dalam pengangkutan udara dan terjadi di dalam pesawat udara atau kecelakaan pada saat naik ke atau turun dari pesawat udara.
Termasuk dalam pengertian lukanya penumpang adalah cacat fisik dan/atau cacat mental.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyempurnakan balas ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Ordonansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonnantie Staatsblad 1939 No. 100).
Besarnya ganti rugi harus selalu disesuaikan dengan perkembangan nilai mata uang.
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud pihak ketiga adalah orang atau badan hukum yang tidak ada kaitannya dengan pengoperasian pesawat udara tetapi meninggal atau luka atau menderita kerugian akibat pengoperasian pesawat udara.
Ayat (2)
Penetapan batas ganti rugi harus selalu disesuaikan dengan perkembangan nilai mata uang.
Pasal 45
Dalam hal pengangkutan udara dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, maka perusahaan angkutan udara yang melakukan perjanjian angkutan dengan pengguna jasa, bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa, meskipun pelaksanaannya dilakukan oleh beberapa perusahaan angkutan udara.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan pengguna jasa angkutan udara.
Pasal 46
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan bahwa dalam hal pengangkutan campuran, Undang-undang ini hanya mengatur ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut udara, apabila kegiatan angkutan tersebut dilakukan dalam satu dokumen angkutan udara, sedangkan ketentuan mengenai tanggung jawab yang menyangkut moda angkutan lainnya diatur berdasarkan ketentuan mengenai tanggungjawab sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud keadaan tertentu yaitu apabila Pemerintah memerlukan transportasi untuk angkutan udara, sedangkan yang tersedia hanya pesawat udara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, maka Pemerintah dapat mengubah pesawat udara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi pesawat udara sipil sesuai dengan persyaratan pesawat udara sipil.
Begitu juga sebaliknya apabila Pemerintah memerlukan pesawat udara untuk transportasi angkutan udara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sedangkan yang tersedia hanya pesawat udara sipil maka pesawat udara sipil dapat diubah menjadi pesawat udara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sesuai dengan persyaratan pesawat udara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan angkutan udara sipil adalah angkutan udara niaga atau bukan niaga.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 51
Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi sejauh mungkin gangguan yang diderita oleh masyarakat yang ditimbulkan oleh kebisingan bunyi mesin pesawat udara, baik pada waktu terbang, mendarat, tinggal landas maupun pada saat menghidupkan mesinnya di bandar udara.
Pasal 52
Ayat (1)
Penyidikan pelanggaran terhadap Undang-undang Penerbangan memerlukan keahlian dalam bidang penerbangan sehingga perlu adanya petugas khusus untuk melakukan penyidikan di samping pegawai yang biasa bertugas menyidik tindak pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan merusak atau menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, mengambil bagian pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat kecelakaan pesawat udara adalah setiap tindakan yang mengakibatkan sulitnya penelitian terhadap penyebab kecelakaan pesawat udara.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 74
Huruf a
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa ordonansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonnantie Staatsblad 1939 No. 100) tetap berlaku.
Dalam Undang-undang ini telah dilakukan penyempurnaan terhadap Pasal 3, Pasal 30, dan Pasal 38 Ordonansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonnantie Staatsblad 1939 No. 100) yang materinya telah dituangkan di dalam Pasal 43, Pasal 45, dan Pasal 46.
Dalam rangka mengantisipasi perkembangan angkutan udara yang semakin meningkat, baik di dalam negeri maupun internasional, perlu segera diambil langkah-langkah perubahan dan penyempurnaan terhadap Ordonansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonnantie Staatsblad 1939 No. 100) dalam bentuk Undang-undang tersendiri.
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas