BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perjalanan kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing.
Bahkan menurut pakar sejarah Peradilan, Peradilan Agama sudah ada sejak abad ke-16. Dalam sejarah yang dibukukan Departemen Agama yang berjudul Seabad Peradilan Agama di Indonesia, tanggal 19 Januari 1882 ditetapkan sebagai hari Jadinya, yaitu berbarengan dengan diundangkannya ordonantie stbl. 1882-152, tentang Peradilan Agama di pulau Jawa-Madura.
Setelah lama Indonesia merdeka, bangsa Indonesia berangsur sadar untuk membuang jauh politik kolonial itu. Walau demikian, kesulitan masih dialamai oleh Peradilan Agama itu sendiri, oleh para pencari keadilan bahkan oleh cerdik cendikia, mahasiswa atau pelajarhukum. Karena sulit mengidentifikasi, mengumpul dan mengkombinasikannya maka sebagai faktanya belum satupun kita temukan buku yang diterbitkan tentang Hukum Acara Peradilan Agama. Akibat lainnya adalah, peradilan Agama tidak begitu populer.
Kini Peradilan Agama telah mempunyai Undang-undang tersendiri, yatiu UU No. 7 tahun 1989. Peradilan Agama telah lebih mantap dalam menjalankan fungsinya, para pencari keadilan pun demikian, akan lebih mudah dan kongkrit berurusan. Para ilmuwan, cerdik-cendikia, mahasiswa dan pelajar mulai mengambil perhatian.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Dari uraian latar belakang di atas maka penulis menemukan permasalahan dan kemudian akan dibahas diantaranya :
1. Apa yang dimaksud dengan hukum acara ?
2. Bagaimana pembuktiannya ?
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERADILAN AGAMA
1. Pengertian peradilan
Kata “peradilan” berasal dari akar kata “adil”, dengan awalan “per” dengan imbuhan “an”. Kata “peradilan” sebagai terjemahan dari kata “qadha”, yang berarti “memutuskan”, “melaksanakan”, “menyelesaikan”.
Kata “Peradilan” menurut istilah fiqih adalah berarti:
a. Lembaga hukum (tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan).
b. Perkara yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya.
Dari pengertian tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa tugas peradilan berarti menampakan hukum agam, tidak tepat bila mengatakan menetapkan suatu hukum. Karena hukum itu sebenarnya telah ada dalam hal yang dihadapi hakim. Bahkan dalam hal ini kalau hendak dengan hukum umum, dimana hukum islam itu (syari’at), telah ada sebelum manusia ada. Sedangkan hukum umum baru ada setelah manusia ada. Sedangkan hakim adalam hal ini hanya menerapkan hukum yang sudah ada itu dalam kehidupan, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.
2. Peradilan Agama
Sebagaimana diketahui bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan perdata dan Peradilan Islam di Indonesia, jadi ia harus mengindahkan peraturan perundang-undangan Negara dan Syariat Islam sekaligus. Oleh karena itu rumusan Hukum Acara Peradilan Agama diusulkan sebagai berikut:
“Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan Negara maupun dari syariat Islam yang mengatur bagaimana cara orang bertindak ke muka Pengadilan Agama dan juga mengatur bagaimana acara Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukum material Islam yang menjadi kekuasaan peradilan Agama.”
Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, disamping sebagai Peradilan Khusus, yakni Peradilan Islam di Indonesia, yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan negara, untuk mewujudkan hukum material Islam dalam batas-batas kekuasaannya.
3. Undang-undang Peradilan Agama
Undang-undnag peradilan agama terdiri dari tujuh bab yakni 108 Pasal dengan meliputi:
Bab I Memuat tentang ketentuan-ketentuan Umum tentaang Pengertian, Kedudukan, Tempat kedudukan, dan Pembinaan Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama.
Bab II Mengatur tentang Susunan Peradilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
Bab III Mengatur tentang Kekuasaan Pengadilan dalam LIngkungan Peradialn Agama.
Bab IV Menyebut soal biaya perkara yang diatur oleh Menteri Agama dengan Persetujuan MAhkamah Agung berdsarkan Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan,
Bab V Menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi Peradialan, Pembiayaan Tugas Para Hakim, Panitera dalam Melaksanakan Tugas masing-masing.
Bab VI Mengenai ketentuan-ketentuan peralihan.
Bab VII Tentang Ketentuan Penutup.
BAB III
HUKUM ACARA DAN PEMBUKTIANNYA
A. HUKUM ACARA
Hukum acara diatur dalam Bab IV Undang-undang Peradilan Agama. Bagian pertama mengatur hal-hal yang bersifat umum. Diantaranya disebutkan bahwa Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan yang berlaku pada lingkungan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Yang diatur secara khusus dalam Undang-undang peradilan agama, disebutkan dalam bagian kedua yang pemeriksaan sengketa perkawinan berkenaan dengan.
a. Cerai talak yang datang dari pihak suami.
b. Cerai gugat yang datang baik dari pihak isteri maupun dari pihak suami.
c. Cerai dengan alasan zina.
Bab V menyebutkan dalam ketentuan-ketentuan lain mengenai administari peradilan, pembagian tugas para hakim, panitera dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Dalam bab ini disebut dengan jelas tugas jurusita untuk:
a. Melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh ketua sidang.
b. Menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran dan pemberitahuan penetapan atau putusan Pengadilan menurut carar-cara berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-undang.
c. Melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan.
d. Membuat berita acara penyitaan yang salinan resminya diserahkan kepada pihak-ihak yang berkepentingan. Jurusita Pengadilan Agama berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan.
Jurusita, tidak ada dalam susunan Peradilan Agama selama ini, sehingga dalam melaksanakan putusannya yang tidak mau dilaksanakanoleh para pihak, terutama oleh mereka yang kalah, Pengadilan Agama selalu bergantung pada Pengadilan Negeri. Dengan kata lain, karena tidak ada jurusita dalam tubuhnya sendiri, putusan Pengadilan Agama tidak ada jurusita dalam tubuhnya sendiri, putusan pengadilan Agama tidak dapat dilaksanakannya sendiri, tetapi harus “minta” persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri. Persetujuan ini, dalam kepustakaan hukum indonesia, disebut dengan fiat eksekusi. Karena ketiadaan jurusita itu pula maka setiap putusan Pengadilan Agama di bidang perkawinan selama ini perlu dikukuhkan oleh Pengadilan Umum atau Pengadilan Negeri. Dengan Undang-undang Peradilan Agama ini, ketergantungan Pengadilan Agama kepada Pengadilan Negeri yang telah berlangsung selama 107 tahun di Jawa dan Madura, diakhiri. Melalui Undang-undang ini pula semua aturan yang menentukan ketergantungan Pengadilan Agama kepada Peradilan Umum, telah terhapuskan. Kini, peradilan Agama tidak lagi seakan-seakan “peradilan semu”, tetapi telah benar-benar menjadiperadilan mandiri.
Bab VI tentang mengenai ketentuan peradilan. Dalam bab ini disebutkan antara lain bahwa:
1. Semua Bahan Peradilan Agama yang telah ada dinyatakan sebagai Badan Peradilan Agama menurut undang-undasng ini. Di seluruh Indonesia Pengadilan Agama itu berjumlah 321 buah, terdiri dari 303 Pengadilan Agama 18 Pengadilan Tinggi Agama. Ketentuan peralihan ini menyatakan pula bahwa.
2. Semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai Peradilan Agama dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan selama ketenttuan baru berdasarkan undang-undang ini belum dikeluarkan.
Bab VII tentang ketentuan penutup, Dalam bab terakhir ini ditegaskan bahwa pada saat mulai berlakunya Undang-undang Peradilan agama, semua peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura, di Madura, di sebagian (bekas) Residensi Kalimantan Selatan dan TImur, dan di bagian lain wilayah Republik Indonesia, dinyatakan tidak berlaku lagi, Dengana demikian, terciptalah pula kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama di seluruh Indonesia, sebagai penerapan Wawasan Nusantara. Disamping itu dinyatakan juga bahwa aturan mengenai pengukuhan yang disebut dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-undag Perkawinan, tidak berlaku lagi. Disebutkan pula dalam ketentuan penutup bahwa pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, diselesaikan (juga) oleh Pengadilan Agama.
1. Perubahan yang Terjadi dalam Lingkungan Peradilan Agama
Dengan disahkannya Undang-undang Peradilan Agama, perubahan penting yang mendasar telah terjadi dalam lingkungan peradilan Agama. Di antaranya, sebagaian telah diungkapakan dalam tulisan muka, dapat disebut sebagai berikut:
1. Peradilan Agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya benar-benar telah sejajar dan sederajat dengan Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradialn Tata Usaha Negara.
2. Nama, susunan, wewenang (kekuasaan) dan hukum Acara Peradilan Agama telah sama dan seragam diseluruh indonesia. Terciptanya unifikasi Hukum Acara Peradilan Agama itu akan memudahkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
3. Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan, dengan jalan, antara lain, memberikan hak yang sama kepada isteri dalam berproses dan membela kepentingannya di muka Pengadilan Agama.
4. Lebih menetapkan upaya penggalian berbagai asas dan kaidah hukum Islam melalui jurisprudensi sebgagai salah satu bahan baku dalam penyususnan dan pembinaan hukum nasional. Disamping itu, dengan disahkannya Undang-undang Peradilan Agama ini.
5. Terlaksanalah ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, terutama yang disebut pasal 10 ayat (1) mengenai kedudukan Pengadilan dalam lingkungan Peradialan Agama dan Pasal 12 tentang susunan, kekuasaan dan (hukum) acaranya.
6. Terselenggaranya pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara sekaligus berwawasan bhineka tunggal ika dalam bentuk Undang-undang Peradilan Agama.
2. Berlakunya Hukum Acara Peradilan Agama
Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara) dan fungsinya (menegakkan hukum dan keadilan) maka Peradilan Agama dahulunya, menggunakan acara yang terserak-serak dalam berbagai pertauran perundang-undangan, bahkan juga Acara dalam hukum tidak tertulis (maksudnya hukum formal Islam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara Indonesia). Namun kini, setelah terbitnya UU No. 7 tahun 1989, yang mulai berlaku sejak tanggal diundangkannya (29 Desember 1989), maka Hukum Acara Peradilan Agama menjadi kongkrit. Pada pasal 54 dari Undang-undang tersebut berbunyi :
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.
Menurut pasal di atas, Hukum Acara Peradilan agama sekarang bersumber (garis besarnya) kepada dua aturan, yaitu:
a. Yang terdapat dalam Undang-undang No. 7 tahun 1989
b. Yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti Hukum Acara Perdata Peradilan Umum, antara lain :
1. HIR (Het Herziene Inlandsche Reglement) atau disebut juga RIB (Reglemen Indonesia yang di Baharui),
2. RBG (Rechts Reglement Buitengewesten) atau disebut juga Reglemen untuk Daerah Seberang, maksudnya untuk luarJawa-Madura,
3. RSV (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan Belanda dahulu berlaku untuk Raad van Justitie,
4. BW (Burgerlijke Wetboek) atau disebut juga Kitab Undang Undang Hukum Perdata Eropa,
5. Undang-undang 2 tahun 1986, tentang Peradilan Umum.
Peraturan perundang-undangan tentang Acara Perdata yang sama-sama berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, adalah :
1. Undang-undang Nomor 14tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1985, tentang Mahkamah agung,
3. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, tentang Perkawinan dan pelaksanaannya.
Jika demikian halnya, maka peradilan Agama dalam Hukum Acaranya minimal harus memperhatikan UU Nomor 7 tahun 1989, ditambah dengan 8 macam peraturan perundang-undangan yang tadi telah disbutkan. Selain dari itu, Peradilan Agama masih harus memperhatikan hukum proses menurut Islam. Kesemuanya inilah yang dinamakan sumber Hukum Acara Peradilan Agama.
B. PEMBUKTIAN
Pembuktian menurut istilah bahasa arab berasal dari kata al bayyinah, yang artinya suatu yang menjelaskan. Ibn al Qayyim al Jauziyah dalam kitabnya at Turuq al hukmiyah mengartikan “bayyinah” sebagai segala sesuatu atau apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran sesuatu.
Pembuktian menurut ajaran islam didasarkan pada Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim Yang artinya:
“Aku diperintahkan Tuhanku memutuskan perkara menurut bukti-bukti (alasan-alasan) yang nyata, sedangkan hakikat urusan itu terserah pada Allah sendiri”
(Ash Shiddiqie, 1964:11).
Yang dimaksud dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang dalam suatu persengketaan. Jadi membuktikan itu hanyalah dalam hal adanya perselisihan sehingga dalam perkara perdata di muka Pengadilan, terhadap hal-hal yang tidak dibantah oleh pihak lawan, tidak memerlukan untuk dibuktikan.[4]
Secara terminologis, pembuktian berarti: memberi keterangan dengan dalil hingga meyakinkan. Sebenarnya pengertian dari pembuktian ini banyak diutarakan oleh pakar hukum Indonesia, dan pada intinya memiliki satu tujuan yang sama.
Menurut R. Subekti (1982), pembuktian adalah meyakinkan hakim tetang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam sengketa. Dalam suatu pemeriksaan perkara hakim mempunyai kewajiban untuk menyelidiki aapakah suatu hubungan hukum yang menjadai dasr gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum ini harus terbukti jika sipenggugat menginginkan kemenangannya dalam suatu perkara, apabila sipenggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila ia berhasil membuktikan gugatannya akan dikabulkan oleh hakim.[5]
Menurut Soepomo membuktikan adalah membenarkan hubungan hukum, misalnya apabila hakim mengembalikan tuntutan penggugat, pengabulan ini mengandung arti, bahwa hakim menarik kesimpulan, bahwa apa yang dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah benar. Berhubung dengan itu membuktikan dalam arti luas adalah memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum pembuktian adalah satu rangkaian peraturan tata tertib yang harus diindahkan dalam melangsungkan pertarungan di muka hakim, antara kedua belah pihak yang sedang mencari keadilan.
1. Asas Pembuktian
Asas pembuktian, dalam Hukum Acara Perdata dijumpai dalam pasal 1865 Burgerlijke Wetboek, pasal 163 Het Herziene Inlandsche Reglement, pasal 283 Rechts Reglement Buitengewesten, yang bunyi pasal-pasal itu semakna saja, yaitu: “Barangsiapa mempunyai sesuatu hak atau guna membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa, ia diwajibkan membuktikan adanya hak itu atau adanya peristiwa tersebut”.
Dalam sebuah hadist Rasulullah tentang asas pembuktian di bawah ini, tidak bisa dikatakan “bukti dibebankan kepada penggugat”. Yang artinya;
“Jika gugatan seseorang dikabulkan begitu saja, niscaya akan banyaklah orang yang menggugat hak atau hartanya terhadap orang lain tetapi (ada cara pembuktiannya) kepada yang menuntut hak (termasuk yang membantah hak orang lain dan menunjuk suatu peristiwa tertentu) dibebankan untuk membuktikan dan (bagi mereka yang tidak mempunyai bukti lain) dapat mengingkarinya dengan sumpahnya”.
(H.R. Bukhari dan Muslim dengan sanad sahih).
2. Alat-alat Bukti yang diakui dalam Pembuktian yang digunakan di Pengadilan Agama
Dalam hukum Islam terdapat banyak ayat Al-Quran sebagai landasan berpijak tentang pembuktian. Sehubungan dengan hal ini, ada berbagai alat bukti yang dapat diajukan ke dalam persidangan di Pengadilan Agama berdasarkan Hukum Islam. Alat-alat bukti tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Ikrar (pengakuan)
Ikrar, yaitu suatu pernyataan dari penggugat atau Tergugat atau pihak-pihak lainnya mengenai ada tidaknya sesuatu. Ikrar adalah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri yang bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain. Ikrar atau pengakuan dapat diberikan di muka Hakim di persidangan atau di luar persidangan.
b. Syahadah (saksi)
Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tertentu.
c. Yamin (sumpah)
Sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.
d. Riddah (murtad)
Riddah adalah pernyataan seseorang bahwa ia telah keluar dari agama Islam (murtad). Tata cara pernyataan Riddah ini hamper sama dengan Ikrar atau pengakuan, namun pelaksanaannya lebih bersifat formal dihadapan pemuka Agama Islam.
e. Maktubah (bukti tertulis)
Bukti-bukti tertulis yang dimaksud disini terdiri atas dua hal, yaitu:
1. Akta;
2. Surat keterangan.
f. Tabayyun (pemeriksaan koneksitas)
Tabayyun adalah upaya perolehan kejelasan yang dilakukan oleh pemeriksaan majelis pengadilan yang lain daripada majelis pengadilan yang sedang memeriksa.
3. Alat-alat Bukti yang digunakan di Pengadilan Agama menurut pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006
Pasal 54 UU No.3 Tahun 2006, menentukan bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur khusus dalam undang-undang ini. Secara umum, pembuktian yang digunakan dalam Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum, yaitu Pengadilan Negeri, masih menggunakan ketentuan pembuktian yang tercantum dalam HIR, RBg dan KUH Perdata atau disebut juga BW. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain terdapat dalam pasal 164 HIR, pasal 284 RBg dan pasal 1866 BW. Secara garis besar mengatur macam-macam alat bukti yang dapat digunakan dalam pembuktian perkara perdata.[7] Alat-alat bukti tersebut antara lain terdiri atas:
a. Pembuktian dengan surat (alat bukti tertulis)
Alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Ada tiga macam surat yang sebagai alat bukti, yaitu:
1. Akta Autentik
Akta autentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat surat itu.[8] Hal ini dimaksudkan untuk menjadikan surat tersebut sebagai bukti. Pejabat umum adalah notaris, pegawai catatan sipil, juru sita, panitera pengadilan.
2. Akta Di bawah Tangan
Akta di bawah tangan adalah suatu surat yang ditandatangani dan dibuat dengan maksud untuk dijadikan bukti dari suatu perbuatan hukum. Akta ini mempunyai kekuatan bukti hukum yang sempurna seperti halnya akta autentik, apabila isi tandatangan dari akta tersebut, diakui oleh orang bersangkutan.
3. Surat Biasa
Tentang surat-surat lainnya yang bukan berupa akta, dalam hukum pembuktian mempunyai nilai pembuktian bebas yang sepenuhnya di serahkan kepada kebijaksanaan hakim. Dalam prakteknya surat tersebut dipergunakan untuk menyusun persangkaan.
b. Keterangan saksi-saksi
Dalam hukum acara perdata pembuktian dengan saksi sangat penting, terutama untuk perjanjian-perjanjian dalam hukum adat, dimana pada umumnya karena adanya saling percaya, mempercayai tidak di buat surat sehelai pun, oleh karena itu bukti berupa surat tidak ada, pihak-pihak akan berusaha untuk mengajukan saksi yang dapat membenarkan atau manguatkan dalil-dalil yang diajuakan di muka persidangan.
c. Persangkaan Hakim
Persangkaan adalah kesimpulan yang di tarik dari suatu peristiwa yang telah di anggap terbukti, atau peristiwa yang dikenal, ke arah suatu peristiwa yang belum terbukti. Adapun yang menarik kesimpulan ini adalah hakim atau undang-undang. Akan tetapi dalam Hukum Acara Perdata, tentang menarik persangkaan menurut undang-undang ini harus di anggap sebagai perbandingan saja, yang oleh hakim masih harus di pertimbangkan apakah dalam suatu kasus tertentu berlaku ketentuan tersebut.
d. Pengakuan
Pengakuan yang di sebutkan di atas adalah pengakuan murni. Tetapi selain pengakuan murni adapula pengakuaan tambahan, yang di bedakan dalam dua macam yaitu :
1. Pengakuan dengan klausa.
2. Pengakuan dengan kualifikasi.
e. Sumpah.
Sumpah adalah suatu pernyataan yang dikhidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberikan janji dan keterangan dengan mengingat akan sifat Maha Kuasa daripada Tuhan. Dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan di hukum oleh-Nya.
Sumpah dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Sumpah pelengkap
Sumpah pelengkap adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya, kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.
b. Sumpah penaksir
Sumpah penaksir adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian, sumpah ini barulah dapat dibebankan oleh hakim kepada penggugat apabila penggugat telah dapat membuktikan haknya atas ganti kerugian tersebut, ditaksir dengan melalui sumpah ini.
c. Sumpah pemutus
Sumpah pemutus adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya. Berlainan dengan sumpah pelengkap, sumpah pemutus ini dapat dibebankan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali, sehingga sumpah pemutus ini dapat dilakukan setiap saat selama pemeriksaan berlangsung.
BAB III
KESIMPULAN
Hukum Acara Peradilan Agama masih belum tersusun dengan benar atau masih terpecah-pecah, karena dalam Undang-undang Nomor 7 tahun1989 hanya sedikit sekali memuat tentang Acara tetapi peraturan peundang-undangan yang ditunjuk berlaku sebagai Hukum Acaranya cukup banyak
Alat bukti yang dapat diajukan ke dalam persidangan di Pengadilan Agama berdasarkan Hukum Islam. Alat-alat bukti tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Ikrar (pengakuan)
b. Tabayyun (pemeriksaan koneksitas)
c. Yamin (sumpah)
d. Riddah (murtad)
e. Maktubah (bukti tertulis)
f. Syahadah (saksi)
Adapun alat Bukti yang digunakan di Pengadilan Agama menurut pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006:
a. Pembuktian dengan surat (alat bukti tertulis)
b. Keterangan saksi-saksi
c. Persangkaan Hakim
d. Pengakuan
e. Sumpah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir (Kamus Arab-Indonesia), 1996 M.
As San any, Subul as Salam, Dahlan, Bandung, tt., jilid IV.
Bahder Johan Nasution, HUkum Acara Peradilan Agama, Tarsito, Bandung, 1992.
Hasbi Ash-Shididdieqy, Peradilan dan hukum acara islam, PT Ma’arif, Yogyakarta,. 1994.
HIR, pasal 165/RBg, pasal 285/BW, pasal 1868.
Mohammad Daud Ali, H. Prof. S.H. Hukum Islam dan Peradilan Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 1997.
Subekti, R. Prof. S.H. Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975.
[1] Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir (Kamus Arab-Indonesia), 1996 M, hlm.125.
[2] Hasbi Ash-Shididdieqy, Peradilan dan hukum acara islam, 1994, Yogyakarta, PT Ma’arif. Hlm. 29.
[3] Prof. H. Mohammad Daud Ali S.H. Hukum Islam dan Peradilan Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 1997. Hlm 273.
[4] Prof. R. Subekti, S.H. Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975, hlm. 5 dan 13.
[5] Bahder Johan Nasution, HUkum Acara Peradilan Agama, Tarsito, Bandung, 1992, hlm.74.
[6] As San any, Subul as Salam, Dahlan, Bandung, tt., jilid IV, hlm. 132
[7]Subekti, op.cit., hlm. 25
[8] HIR, pasal 165/RBg, pasal 285/BW, pasal 1868 Related Articles :
0 komentar:
Posting Komentar