IKHTILAF DAN ADAB-ADABNYA


الإختلاف وادابها

Ditinjau dari segi sebab dan akarnya, ada dua bentuk ikhtilaf (perselisihan):
a - Ikhtilaf yang disebabkan oleh faktor akhlaq
b - Ikhtilaf yang disebabkan oleh faktor pemikiran.
A. Ikhtilaf Yang Disebabkan Oleh Faktor Akhlaq.
Ikhtilaf yang timbul karena faktor akhlaq ini diketahui oleh para ulama' dan murabbi (pembina) yang memperhatikan beraneka motifasi dari berbagai sikap dan peristiwa.
Diantara sebab-sebabnya :
a Membanggakan diri dan mengagumi pendapatnya sendiri.
b Buruk sangka kepada orang lain dan mudah menuduh orang lain tanpa bukti.
c Egoisme dan mengikuti hawa nafsu. Diantara akibatnya : ambisi terhadap kepemimpinan atau kedudukan.
d Fanatik kepada pendapat orang, mazhab dan golongan.
e Fanatik kepada negeri, daerah, partai, Jama'ah atau pemimpin.
Semua ini adalah akhlaq tercela dan Muhlikat (hal yang mencelakakan) dalam pandangan para ulama'u 'l-qulub (ulama yang menyelidiki masalah hati). Wajib atas muslim awam --apalagi aktivis
Islam dan da'i-- untuk berusaha menghindari sifat-sifat tercela di atas.
Ikhtilaf yang timbul karena perangai yang tercela ini adalah perselisihan yang tidak terpuji bahkan termasuk katagori perpecahan yang tercela.
B. Ikhtilaf Yang Timbul Karena Faktor Pemikiran.
Ikhtilaf ini timhul karena perhedaan sudut pandang mengenai suatu masalah, baik masalah alamiah ataupun masalah amaliah, contoh dalam masalah ilmiah adalah perbedaan menyangkut cahang¬
cabang syari'at dan beberapa masalah aqidah yang tidak menyentuh prinsip-prinsip yang pasti. Sedang dalam masalah amaliah adalah perbedaan mengenai sikap-sikap politik dan pengamhilan keputusan atas berbagai masalah, akibat perhedaan sudut pandang, kelengkapan data dan informasi, pengaruh-pengaruh lingkungan dan zaman.
Diantara contoh yang paling nyata ialah perhedaan Jama'ah¬Jama'ah Islam sekitar beberapa sikap politik pada masa kita sekarang ini. Seperti keikutsertaan dalam pemilihan umum, masuk ke dalam parlemen, partisipasi dalam pemerintahan yang tidak komit dalam penerapan syari'at Islam, koalisi dengan sehagian kekuatan non¬Islam untuk menjatuhkan pemerintahan tiran yang tidak memherikan kebebasan pendapat sama sekali, dan lain sehagainya.
Sebagian ikhtilaf tersebut bersifat politik semata-mata, yakni berkaitan dengan pertimbangan antara kemaslahatan dan kemudlaratan, antara pencapaian dan kerugian, dimasa sekarang dan yang akan datang.
Sebagian yang lain bersifat fiqhi murni, yakni kembali kepada perbedaan hukum syar'.i mengenai masalah tersebut apakah ia boleh atau terlarang?. Seperti masalah partisipasi dalam pemerintahan,
berkoalisi dengan non-Muslim, dan keikutsertaan wanita dalam pemilihan baik sebagai pemilih atau sebagai orang yang dicalonkan. Sementara itu sebagian yang lainnya merupakan gahungan antara perbedaan yang bersifat fiqhi dan politis.
Diantara contoh yang.paling ny:tta adalah perbedaan pendapat antara para aktivis Islam mengenai metode-metode ishlah clan perubahan yang dicita-citakan :
Apakah dimulai dari atas atau dari bawah ?
Apakah kita mengutamakan cara revolusi dan kekerasan atau cara bertahap dan keluwesan?.
Apakah diutamakan kudeta militer atau perjuangan politik, ataukah takwin tarbawi (pembinaan)'?.
Apakah kita memberikan prioritas kepada aktivitas sosial ataukah kepada pembentukan kader-kader?.
Apakah dibolehkan adanya beberapa Gerakan Islam dimana masing-masing daripadanya bekerja di lapangan tertentu ataukah satu Gerakan yang mencakup dan menyeluruh?.
Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang tidak sedikit jumlahnya.
Termasuk ke dalam khilafiah fikriah: perbedaan pandangan mengenai penilaian terhadap sebagian ilmu pengetahuan seperti ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu mantiq, ilmu filsafat dan fiqh madzhab.
Ada orang yang sangat fanatik terhadap ilmu-ilmu tersebut. Sebaliknya ada orang yang menolak semua ilmu tersebut dan menganggapnya "barang baru" (bid'ah) dalam Islam, yang dosanya lebih besar ketimbang manfa'atnya. Ada pula orang yang bersifat moderat; mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian yang lainnya.
Ikhtilaf fikri lainnya adalah perbedaan mengenai penilaian terhadap sebagian peristiwa sejarah dan tokoh-tokohnya. Misalnya, apa yang terjadi antara sesama shahabat, antara sikap Umar terhadap Khalid bin Walid, Utsman terhadap Ibnu Mas'ud dan Abu Dzarr, sikap Thalhah, Zubair dan Aisyah terhadap Ali, perang Shiffin clan masalah Tahkim (Ali dan Mu'awiah) dan lainnya.
Diantara tokoh yang diperselisihkan : Mu'awiah dan ayahnya, Amer bin Al-Ash, Abu Musa Al-Asy'ari dan lainnya.
Bahkan dikalangan tokoh ilmu keislaman pun tidak luput dari kontroversi, antara orang yang fanatik mengagungkan bahkan mengkultuskannya clan orang yang fanatik menolaknya sampai berlebihan dalam mencaci-makinya. Diantara tokoh ulama' ini seperti Abu Hamid Al-Ghazali, Ibnu Taimiah, Muhyiddin Ibnu Arabi dan lainnya.
Tetapi perselisihan yang terbesar dan terluas ialah perselisihan dalam masalah cabang-cabang fiqh dan sebagian masalah-masalah aqidah yang tidak qath'i. Dalam masalah ini banyak contoh yang dapat disebutkan.
Ikhtilaf Fiqhi.
Perbedaan dalam masalah adzan dan iqamat, hukumnya shalat berjama'ah, duduk istirahat dan turun untuk bersujud dengan kedua tangan sebelum lutut atau sebaliknya, apasaja yang membolehkan jama' antara dua shalat dan sebagainya.
Diantara sebab utama perselisihan dan perpecahan di kalangan kelompok-kelompok aktivis Kebangkitan Islam ialah perselisihan dalam masalah cabang-cabang fiqh yang timbul akibat beraneka macam sumber dan aliran dalam rnemahami nash (teks) dan meng¬istinbat (menyimpulkan) hukum yang tidak ada nash-nya. Perselisihan ini terjadi antara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara pihak yang memperketat dan memperlonggar, antara pihak yang cenderung kepada zhahir nash dan yang cenderung kepada ra'yi (rasional), antara orang yang mewajibkan semua orang untuk ber-taqlid kepada mazhab dan pihak yang melarang kepada orang untuk ber-madzhab. Di samping itu ada pula yang bersikap moderat yang membolehkan orang awam bertaqlid tanpa membatasi madzhab tertentu, dan menekankan kepada setiap orang yang terpelajar agar menyempurnakan kekurangannya sehingga mencapai tingkatan orang yang mampu mempertimbangkan dalil-dalil dan men-tarjih (menyeleksi mana yang lebih kuat) antara pendapat yang ada, serta melakukan ijtihad -kendatipun terbatas¬menyangkut beberapa masalah yang baru sama sekali.
Diantara contohnya :
Dalam masalah Thaharah :
Hukum colognet dan spirius yang digunakan untuk bersuci, benda yang diproses dari bahan yang asalnya najis, air got apabila telah dibersihkan, perlunya lrrwudhu' karena memakan daging onta, menyentuh wanita atau karena menyentuh kemaluan dan lain sebagainya ...
Dalam Masalah Zakat:
Apakah wajib zakat pada buah-buahan dan sayur-sayuran serta hasil-hasil bumi lainnya seperti kapuk dan lain sebagainya?. Bolehkan mengeluarkan nilai dari barang-barang yang harus
dizakatkan -khususnya zakat fitrah- atau tidak? Apakah pada perhiasan wanita terdapat zakat setiap tahun atau tidak?/
Dalam Masalah Puasa.
Dalam menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri : Apakah dengan ru'yah satu orang saja atau dengan orang banyak ataukah dengan hisab? dan lain sebagainya...
Dalam Masalah Haji
Apakah boleh ihram dari Jeddah bagi para penumpang kapal udara atau tidak? Bolehkah melempar (jumrah) sebelum zawal (condongnya matahari) atau tidak? Bolehkah menyembelih binatang kurban haji tamattu' di Mekkah sebelum hari Nahr (penyembelihan) atau tidak?.
Datam Masalah Shalat.
Seperti melepaskan kedua tangan atau bersedekap, bacaan basmalah dipelankan atau dikeraskan atau tidak dibaca sama sekali.
Dalam Masalah Perhiasan Dan Kecantikan.
Apakah memelihara jenggot itu wajib atau sunnah? Apakah boleh merapikannya atau mengguntingnya atau tidak? Apa hukum memelihara kumis? Apakah boleh melabuhkan pakaian walaupun bukan untuk tujuan kesombongan? Apakah wajib bagi wanita memakai cadar ataukah cukup menutup selain dari wajah dan kedua telapak tangannya? Apakah wanita bo,eh menggunakan sebagian alat kecantikan ringan seperti celak mata dan gelang di tangannya? Bolehkah wanita menggunakan colognet untuk wewangian? Apa hukum foto? baik foto yang punya bayangan atau tidak, khususnya fotographi dan televisi.
Dalam Masalah hiburan dan Permainan.
Apakah boleh mendengarkan lagu dengan alat musik atau tanpa alat musik? apabila boleh, apa syarat-syarat dan ketentuannya?.
Dalam Masalah Makanan Dan Minuman.
Apakah boleh memakan sembelihan Ahli Kitab? Apakah orang¬orang Eropa dan Amerika termasuk Ahli Kitab atau bukan?.
Dalam Masalah Harta Dan Mu'amalah.
Apakah boleh menentukan harga barang dan benda-benda sewaan. khususnya tempat-tempat tinggal dan gedung? Kemudian sejauh mana dibolehkan campurtangan negara dalam masalah ekonomi dan pengarahannya? Apa hukum menguasai "tanah putih" dan yang ditanami? Apa tafsir hadits-hadits yang melarang penggalian tanah? Dan hadits yang mengatakan : "Barang siapa yang memiliki tanah, hendaklan ia menanaminya atau (jika tidak ditanami) hendaknya memberikannya kepada saudaranya?"
Apa hukum asuransi dengan segala jenisnya?.
Apa hukum bekerja pada lembaga-lembaga yang tidak berpegang teguh kepada hukum-hukum Islam?.
Dalam Masalah Fiqh Siyasi Dan Perundang-undangan.
Apa yang harus dikatakan tentang para penguasa yang tidak memerintah dengan hukum Allah : Apakah ia kafir atau orang yang berma'siat saja?.
Apa hukum menggunakan kekuatan guna menjatuhkan mereka?. Apa hukum upaya sebagian orang merubah kemungkaran umum dengan menggunakan tangan, yakni dengan menggunakan kekerasan dan kekuatan fisik?.
Apa hukum pemilihan umum untuk memilih Ahlu '1-Halli wa '1¬Aqdi atau anggota syura?.
Apa hukum syura : apakah keputusannya wajib diikuti oleh pemimpin atau tidak?.
Bagaimana pendapat yang membatasi kepemimpinan negara?. Apa sikap minoritas non-Muslim terhadap tugas-tugas negara Islam?.
Apa sikap minoritas Muslim di negara kafir?.
Apakah dasar bagi hubungan antara negara Islam dan negara kafir: apakah perdamaian ataukah pep&ngan?.
Apakah jihad itu untuk membela ataukah untuk menyerang? Dengan kata lain, apakah orang-orang kafir itu diperangi karena kekafiran mereka ataukah karena permusuhan mereka terhadap kaum Muslimin?.
Apakah ada negeri selain dari Daru 'l-Islam dan Daru 'l¬Harbi?. Apakah ketentuan yang definitif bagi kedua Dar tersebut?. Dan masih banyak lagi masalah-masalah ijtihadiah lainnya yang diperselisihkan oleh para ulama' karena tidak adanya nash syar'i yang qath'iyyu 'ts-tsubut dan qath'iyyu 'd-dalalah.

PERBEDAAN MASALAH FURU' : KEMESTIAN RAHMAT DAN KELELUASAAN
A. Perbedaan masalah Furu', Suatu Kemestian
Orang-orang yang ingin menyatukan kaum muslimin dalam satu pendapat tentang hukum-hukum ibadat, mu'amalat dan cabang¬cabang agama lainnya, hendaknya mengetahui dan menyadari bahwa mereka sebenarnya menginginkan - sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Upaya-upaya mereka untuk menghapuskan perbedaan (dalam masalah ini) tidak akan menghasilkan apa-apa selain daripada bertambah meluasnya perbedaan dan perselisian itu sendiri. Upaya¬upaya seperti ini hanyalah menunjukkan kedunguannya saja, karena perbedaan dalam memahami hukum-hukum syari'at yang tidak bersifat asasiah ini merupakan suatu kemestian (dlarurah) dan tidak dapat dihindari.
Kemestian ini adalah disebabkan oleh tabi'at agama (Islam), tabi'at bahasa (syari°at), tabi'at manusia, tabi'at alam dan kehidupan.
Orang-orang yang Berselisih Dalam Masalah Furu', Termasuk Ahlu 'r-Rahmah
imam Syatibi di dalam kitabnya, al-I'tisham, memberikan jawaban tuntas dalam masalah ini. Setelah menyebutkan perselisihan para penganut millah terdahulu dan kesepakatan penganut Islam, beliau berkata:
"Kemudian yang bersepakat itu mungkin akan berselisih pendapat sesuai dengan tujuan yang kedua, bukan karena tujuan yang pertama. Allah telah menetapkan bahwa cabang-cabang agama
(Islam) ini mentolerir adanya berbagai pandangan dan penafsiran. Para pengkaji menegaskan bahwa dalam masalah-masalah ijtihadiah biasanya tidak mungkin dicapai kesepakatan. Karena masalah¬masalah zhanniyah ini sangat potensial dalam menimbulkan perbedaan pendapat, clan hanya menyangkut masalah-masalah furu'; bukan masalah-masalah ushul (prinsip), perbedaan pendapat ini tidak berbahaya".
Mengenai ayat ini (QS, Hud: 118-119) para ahli tafsir menyebutkan bahwa Al-Hasan berkata: "Orang-orang yang mendapatkan Rahmat Allah", itu tidak akan berbeda pendapat
sampai batas membahayakan mereka. Perselisian mereka itu menyangkut masalah-masalah. ijtihadiah yang tidak ada nash-nya yang tegas. Bahkan perselisian mereka itu sangat beralasan, karena Allah Maha Mengetahui bahwa perbedaan pendapat semacam ini pasti akan terjadi, maka dibuatlah suatu kaidah yang harus dipegangi dalam masalah ini, yaitu firman Allah:
"Jilca kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul ". (QS < an-Nisa': 59).
Jadi, setiap perbedaan pendapat yang tergolong jenis ini Allah mengharuskan agar dikembalikan kepada Allah (AI-Qur'an) dal, kepada Rasul-Nya (Sunnah Nabawiah). Demikianlah praktek par? ulama terdahulu.
lvfungkin ada, yang bertanya: Apakah mereka termasuk ke dalam fiman Allah "mereka senantiasa berselisih pendapat?' 7awabannya, - mereka tidak termasuk kedalamnya karena beberapa hal:
Pertama: Ayat ini menegaskan bahwa Ahlu '1-Ikhtilaf yang disebutkan itu merupakan lawan Ahlu 'r-Rahmah. Firman Allah: ipMereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabb-mu ". Ayat ini menyebutkan antara dua golongan: Ahlu 'l-Ikhtilaf dan ANu '~-Rahmah. Pembagian ini menunjukkan bahwa Ahlu 'r-Rahmah tid~k termasuk Ahlu 'l-Ikhtilaf.
Kedua: Karena di dalam ayat tersebut Allah menegaskan: "Mereka senantiasa berselisih pendapat". Menurut lahiriah ayat ini perselisihan itu menjadi sifat yang lekat bagi mereka, bahkan Allah mengungkapkanya dengan menggunakan Isim , Fa'il yang mengisyartakan kelekatan. Sedangkan Ahlu 'r-Rahmah terbebaskan dari perselisihan tersebut, karena sifat rahmat berlawanan* dengan ketetapan berselisih pendapat. Bahkan jika Ahlu 'r-Rahmah berselisih pendapat tentang suatu masalah maka perselisihannya itu hanya menyangkut soal mencari tujuan Allah dalam mensyari'atkan sesuatu, bila terbukti kesalahannya maka mereka segera kembali. Jadi, perselisihannya hanya bersifat "sementara" bukan "sifat dasar".
Ketiga: Perselisihan dalam masalah-masalah ijtidahiah telah terjadi dikalangan orang -orang yang dapat dipastikan telah mendapat rahmat, yaitu para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Mereka ini tidak dimasukkan ke dalam "orang-orang yang senantiasa berselisih pendapat". Seandainya salah seorang dari mereka (shahabat) yang berselisih pendapat tentang masalah
dianggap sebagai Ahlu 'l-Ikhtilaf niscaya, sesuai penilaian tersebut, ia tidak dikatakan termasuk Ahlu 'r-Rahmah. Tentu saja 6a1 irii tidak aapat diterima bahkan bertentangan dengan ijma' Ahlu 'l-Sunnah.
Keempat: Ulama' Salaf yang shalih telah menjadikan perbedaan Ummat dalam masalah-masalah furu' sebagai salah satu bentuk rahmat. Jika perbedaan ini termasuk rahmat maka tidak mungkin orang yang berselisih pendapat itu keluar dari golongan Ahdu °r, Rahmah.
Diriwayatkan dari Qasim bin Muhammad, ia berkata: Allah telah memberi manfaat dengan perbedaan para shahabat Rasulullah saw dalam beramal. Tidaklah seseorang beramal berdasarkan ilmu salah seoarang dari mereka, (shahabat) kecuali mereka, merasakan keleluasaan.
Dari Dhamrah bin Raja, ia berkata: Umar bin Abdul Az~ pernah bertemu dengan Qasim bin Muhammad dalam sebuah majelis mudzkarah hadits, kemudian Umar menyebutkan suatu pendapat yang bertentangan dengan pendapat Qasim. Lalu Qasim pun menyanggahnya dengan sengit, tetapi Umar berkata kepadanya; Jangan kamu lakukan itu, karena aku lebih suka perbedaan pendapat mereka ketimbang onta yang terbaik.
Ibnu Wahab juga meriwayatkan dari Qasim, ia berkata: Bahwa Qasim pernah berkata: Aku kagum akan perkataan Umar bin Abdul Aziz; "Aku tidak suka jika para shahabat Muhammad saw tidak berselisih pendapat. Sebab jika mereka dalam satu pendapat niscaya manusia akan mengalami kesempitan. Mereka adalah para Imam yang patut diteladani. Jika seseorang mengikuti pendapat salah seorang diantara mereka maka ia berada dalam keleluasaan".
Ini berarti bahwa mereka membuka pintu Ijtihad kepada manusia dan membolehkan terjadinya perbedaan pendapat dalam ijtihad tersebut.
Seandainya mereka tidak menbukanya niscaya para mujtahid akan mengalami kesempitan. Sebab, lapangan ijtihad dan hal-hal yang belum pasti itu biasanya -seperti telah dijelaskan diatas- selalu mengundang perbedaan pendapat. Para ahli ijtihad disamping harus mengikuti pendapat yang menurut perkiraannya lebih kuat, juga. harus mengikuti pendapat yang bertentangan dengannya. Ini jelas , merupakan pembebanan terhadap sesutau yang tidak disanggupinya '' disamping merupakan kesempitan yang paling dahsyat. Oleh sebab itu , Allah kemudian melapangkan ummat ini dengan adanya ' perbedaan pendapat menyangkut masalah-masalah furu'iah dikalangan mereka. Hal ini membuka pintu bagi Ummat untuk I masuk ke dalam rahmat. Bagaimana mereka tidak masuk ke dalam ~ golongan "orang yang diberi rahmat oleh Rabb-mu", sedangkan ~ perbedaan pendapat mereka menyangkut masalah furu' sama dengan kasepakatan mereka menyangkut masalah yang sama? Segala puji milik Allah" .

ADAB DALAM IKHTILAF
1. Ikhlas Karena Allah dan Terbebas dari Hawa Nafsu
Seringkali perselisihan antar kelompok atau pribadi nampak secara lahiriah sebagai perselisihan ilmiah atau mengenai masalah-masalah pemikiran semata-mata. Tetapi sesungguhnya perselisihan tersebut timbul karena faktor egoisme dan memperturutkan hawa nafsu yang dapat menyesatkan seseorang dari jalan Allah. Inilah yang saya rasakan dan amati dari berbagai perselisihan yang telah clan sedang terjadi di dalam tubuh beberapa Jama'ah dan Gerakan Islam, baik antar sesama anggota dari satu Jama'ah ataupun di kalangan para pemimpinnya. Seringkali perselisihan itu terjadi karena faktor-faktor pribadi dan popularitas, sekalipun dibalut dengan kepentingan Islam atau Jama'ah dan lain sebagainya yang tidak diketahui bahkan oleh manusia itu sendiri.
Memang, banyak perselisihan timbul hanya karena si Zaid menjadi pemimpin atau karena si Umar menjadi komandan. Kemudian para pengikut masing-masing mengira sebagai perselisihan mengenai prinsip dan pemahaman. Padahal ia merupakan perselisihan memperebutkan kepemimpinan atau jabatan. Sabda Nabi saw:
2. Meninggalkan Fanatisme terhadap Individu, Mazhab dan Golongan
Seseorang bisa berlaku ikhlas sepenuhnya kepada Allah dan berpihak hanya kepada kebenaran jika ia dapat membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapat orang, madzhab clan golongan.
Dengan kata lain, ia tidak mengikat dirinya kecuali dengan dalil. Jika dilihatnya adanya dalil yang menguatkan maka ia segera mengikutinya, sekalipun bertentangan dengan madzhab yang dianutnya atau perkataan seorang Imam yang dikaguminya atau golongan yang diikutinya. Sebab, kebenaran lebih berhak untuk diikuti daripada pendapat si Zaid atau si Umar. Allah tidak memerintahkan kita beribadah mengikuti perkataan seorang ulama atau Imam tertentu, tetapi Allah memerintahkan kita agar beribadah sesuai dengan apa yang terdapat di dalam Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya: "Katakanlah: Ta'atlah kepada Allah dan ta'atlah kepada Rasul ".
Karenanya, kita tidak diperkenankan untuk bersikap fanatik terhadap hal-hal berikut :
a. Fanatik terhadap pendapat pribadi
b. Fanatik terhadap mazhab
c. Fanatik menentang Mazhab dan para Imam
d. Fanatik kepada kelompok atau partai

Akhlak Membebaskan Diri Dari Fanatisme.
Perlu dijelaskan di sini tentang beberapa akhlaq (tata cara) yang harus diperhatikan dalam rangka membebaskan diri dari fanatisme. Diantara akhlaq ini ialah sikap melihat kepada perkataan bukan kepada orang yang mengatakannya. Hendaknya ia punya keberanian untuk mengkritik diri sendiri, mengakui kesalahan, menerima dengan lapang dada kritik orang lain. Ia tak segan meminta nasihat dan evaluasi dari orang lain, memanfa'atkan ilmu dan hikmah yang dimiliki orang lain, memuji orang yang tidak sependapat jika memang pendapatnya baik, dan membelanya apabila dia dituduh dengan tuduhan yang batil atau dilecehkan dengan tidak benar. Masing-masing dari tata cara ini memerlukan pembahasan tersendiri. Mudah-mudahan dapat kita kaji dalam buku penulis yang sedang penulis persiapkan yaitu "Kebangkitan Islam , Dari Masa Puber Sampai Baligh ". Semoga Allah menolong penulis untuk merampungkan buku tersebut.
3. Berprasangka Baik Kepada Orang lain
Diantara akhlaq dasar yang penting dalam pergaulan sesama aktivis Islam ialah berprasangka baik kepada orang lain dan mencopot kacamata hitam ketika melihat amal-amal dan sikap-sikap mereka. Akhlak dan pandangan seorang Mu'min tidak boleh didasarkan pada prinsip memuji diri sendiri dan menyalahkan orang lain.
4. Tidak Menyakiti dan Mencela
antara faktor penyambung hubungan ialah sikap tidak ~menyakiti dan mencela orang yang berbeda pendapat serlta meminta ma'af kepadanya sek~ilipun dia salah dalam anggapan Anda.
Bisa jadi dia yang benar dan Anda yang salah, sebab dalam masalah ijtihad tidak ada kepastian teotang kebenaran salah satu dari kedua pendapat yang diperselisihkani. Dalam hal ini yang bisa dilakukan adalah tarjih. Sedangkan tai'jih itu sendiri tidak berarti sebuah kepastian.
5. Menjauhi Jidal dan Permusuhan Sengit
Faktor lain yang akan mendekatkan orang-orang yang saling berselisih pendapat ialah sikap menjahui perbantahan yang tercela dan permusuhan sengit. Islam, sekalipun memerintahkan perdebatan dengan cara yang lebih baik-- mengecam perbantahan yang bertujuan mengalahkan lawan dengan segala cara tanpa berpegang teguh kepada logika yang sehat dan timbangan yang bijaksana antar kedua belah pihak.
Allah mengecam orang-orang musyrik dan kafir karena melakukan perdebatan tersebut, di dalam firman-Nya:
"Diantara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya, dengan memalingkan lambungnya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. "
6. Dialog Dengan Cara yang Lebih Baik
Diantara landasan utama dalam etika" berbeda pendapat ialah Ddialog (jidal) dengan cara yang baik, sebagaimana ditegaskan di dalam firman Allah: "Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara lebih baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. " (QS, An Nahl: 125). Dalam ayat ini terdapat perbedaan ungkapan antara apa yang dituntut dalam melakukan nasehat (mau'izhah) dan apa yang dituntut dalam melakukan bantahan (jidal). Dalam melakukan mau'izhah cukup dengan cara yang baik (hasanah) tetapi dalam melakukan jidal tidak dibenarkan kecuali dengan cara yang lebih baik (ahsan).
Imam Hasan Al Banna Dan Fiqhul Ikhtflaf
Diantara para mujaddid dan tokoh Islam di abad sekarang, Imam Hasan A1 Banna adalah orang yang paling mengetahui tentang fiqhul Ikhtilaf clan perlunya persatuan kalimat antar Jama'ah dan kelembagaan Islam.
. Da'wah Imam Hasan A1 Banna muncul ketika Ummat ditimpa musibah perpecahan dan perselisihan di segala bidang baik di Mesir ataupun di negeri-negeri Arab dan Islam.
Di bidang politik, terutama setelah jatuhnya Khilafah, muncul beraneka ragam "bendera". Tidak ada lagi "payung" yang menghimpun Ummat Islam dibawah panji aqidah. Usaha-usaha yang
dikerahkan untuk menghidupkan Khilafah atau memindahkannya ke negeri lain mengalami kegagalan. Akibatnya, muncullah panji-panji Nasionalisme yang saling bermusuhan. Kemudian terbentuklah partai-partai politik yang sepakat untuk tidak sepakat sehingga diperalat oleh musuh-musuh Islam untuk memecah-belah Ummat.
Di bidang pemikiran, muncul seruan "Pembaratan" dan ajakan untuk mengikuti peradaban Barat di segala bidang (baik dan buruknya, pahit dan manisnya). Mereka menginginkan demokrasi liberal clan kapitalisme sebagaimana diterapkan di Barat.
Di pihak lain muncul orang-orang yang menperjuangkan Sosialisme atau Komunis, sekalipun agak malu-malu pada saat itu. Ada juga orang-orang yang menyerukan 'uzlah (menutup diri) dari peradaban Barat serta menyelamatkan diri dari keburukannya dengan menutup semua jendela.
Di bidang agama, terdapat berbagai front yang masing-masing punya orientasi tersendiri.
Ada front Al Azhar dengan madzhab-nya yang empat dan perselisihan para ulama'nya di sekitar masalah ijtihad dan taqlid. Ada front tasawuf dengan beraneka macam tarekat, syaikh dan para pengikutnya yang banyak menyebar di lapisan masyarakat.
Ada front Jama'ah Jama'ah Islam yang juga beraneka ragam: seperti Jam'iah Syar'iah, Jam'iah Ansharus Sunnah, Jam'iah Syubbanul Muslimin, Syababu Sayyidina Muhammad saw dan lain sebagainya.
Semenjak ustadz A1 Banna memulai da'wahnya di Isma'iliah, perpecahan dan perselisihan itu telah berkembang di kalangan Jama'ah jama'ah Islam, terutama antara kubu Salafiyin dan kubu kaum sufi. Perpecahan dan perselisihan ini pun terbawa masuk ke dalam masjid, sehingga orang-orang yang shalat terpecah menjadi dua kelompok yang saling mencela dan tidak mau berjamaah di belakangnya bahkan sampai saling mengkafirkan. Hal inilah yang membuat Imam Al Banna "meninggalkan" masjid, karena perpecahan dikalangan jama'ah masjid tersebut. Beliau mengalihkan perhatiannya kepada komunitas lain yang terbebas dari "virus" tersebut, sekalipun dari segi keta'atan agamanya agak kurang, yaitu orang-orang yang ada di berbagai perkumpulan, warung kopi dan lain sebagainya.
Dalam menghadaI4 masalah perselisihan ini Imam A1 Banna telah mengambil langkah yang sangat bijaksana baik dari segi pemikiran atau agama.
Beliau tidak menolak secara mutlak apa yang dikatakan oleh orang-orang yang berpikiran Nasioanalis, tetapi menerima sebagiannya dan menolak sebagiannya yang lain berdasarkan "kriteria" yang diambil dari Islam itu sendiri.
Beliau menerima diantara pengertian "nasionalisme" yang tidak bertentangan dengan Islam, sebagaimana dijelaskan di dalam risalah Da'watuna.
Tetapi beliau memberikan perhatian besar terhadap perselisihan dalam masalah agama. Masalah ini dibahasnya diberbagai risalahnya, bahkan beliau merumuskan "Duapuluh Prinsip" agar
dijadikan sebagai batas minimal bagi Jama'ah jama'ah Islam yang memperjuangkan Islam untuk menggalang persatuan. Oleh sebab itu, beliau meninggalkan sebagian masalah tanpa memberikan "keputusan" yang final seperti dalam masalah tawassul, tata cara peribadatan clan lain sebagainya, karena menginginkan persatuan barisan dan kalimat.
Itulah sebabnya, mengapa seluruh perhatiannya dicurahkan kepada masalah-masalah besar bukan kepada masalah-masalah kecil. Karena yang pertama akan membuahkan persatuan 5edangkan yang kedua akan mengakibatkan perpecahan.
Berkata Imam Al Banna Rahimahullah : “ Kini saya akan berbicara kepada anda tentang dakwah kita berkenaan dengan perselisihan keagamaan dan perbedaan pendapat tentang mazhab-mazhab; Mempersatukan tidak memecah belah; Perbedaan pendapat adalah kemestian; Mencapai konsensus pada suatu soal furu’ tidaklah mungkin; Memaklumi sikap mereka yang berbeda dengan kita. “

Related Articles :


Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook

0 komentar:

Posting Komentar

 



"Terima kasih sudah berkunjung"

KUMPULAN ARTIKEL & HADIS-HADIS ROSULULLOH Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha