REFLEKSI REFORMASI KONSTITUSI 1998-2002


BAB I
 PENDAHULUAN; UUD 1945 DIPANGGUNG REFORMASI

A. KEBUTUHAN KONSTITUSI
B. PERIODESASI KONSTITUSI INDONESIA
C. ALASAN AMANDEMEN
D. POLITICAL ACTION MPR


BAB II
PERSPEKTIF TEORETIS KONSTITUSI

A. PENGERTIAN KONSTITUSI
Jika ditiinjau dari sudut bahasa (language) istilah konstitusi bukanlah berasal dari bahas indonesia. Istilah konstitusi merupakan terjemahan dari bahasa asing. Istilah konstitusi dalam bahasa indonesia, antara lain, berpadanan dengan kata constitutio (bahasa latin ,italia), constution (bahasa inggris), constitutie (bahasa Belanda), constitutionnel (bahasa prancis), verfassung (bahasa Jerman),masyrutiyah (bahasa Arab),. Istilah konstitusi berasal dari bahasa prancis, yakni; constituer, yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi ialah pembentuk suatu negar atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Secara etimologi antar kata “konstitusi”, ’konstitusional”, dan “konstitusionalisme” inti maknanya sama, tetapi pengunaan da penerapannya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (undang-undang dasar, dsb), atau undang-undang dasar suatu negara. Dengan kata lain, segal tindakan atau perilaku seseorang ataupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpang dari konstitusi, berarti tindakan atau kebijakan tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme yang diartikan sebagai suatu paham mengenai pembatasan kekuasaaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitisi.
Dalam bahasa latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari dua kata yaitu cume dan stature. Cume adalah preposisi yang berarti “bersama dengan ...’, sedangkan statuere berasal dari kata-kata yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri.Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti “ membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan (menetapkan).Dengan demikian, bentuk tunggal (constitutio) berarti menetapakan sesuatu bersama-sama dan bentuk jamak (constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan.
Konstitusi pada dasarnya mengandung pokok-pokok pikiran dan paham-paham, yang melukiskan kehendak yang menjadi tujuan dari faktor-faktor kekuatan yang nyata(the reele machtsfactoren) dalam masyarakat yang bersangkutan. Pokok-pokok pikiran ataupun paham-paham tersebut tidak tumbuh dengan sendirinya, tetapi lahir dari synthese atau reaksi terhadap paham-paham atau pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam suatu konstitusi tertentu, telah memperolah bentuknya karena pengaruh dari paham-paham atau pokok-pokok pikiran terdahulu. Sedangkan sumber yang memengaruhinya tersebut dapat berasal, baik dari dalam maupun dari luar masyarakat itu sendiri sebagai akibat akulturasi proses.
Menurut Herman Heller, konstitusi lebih luas daripada undang-undang. Konstitusi, sesungguhnya tidak hanya bersifat yuridis, tetapi juga bersifat sosiologis dan politis. Sedangkan undang-undang dasar hanya merupakan sebagian dari pengertian konstitusi dan ia membagi pengertian konstitusi menjadi tiga pengertian 9tahapan),yaitu:
1. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik didalam suatu masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die politisce verfassung als gesellschaftliche wirklichtvefassung) dan ia belum merupakan konstitusi dalam arti hukum (ein rechtverfassung), atau dengan perkataan lain.Konstitusi itu masih merupakan pengertian sosiologis atau politis dan belumpengertian hukum.
2. Baru setelah porang –orang mencari unsur hukumnya dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat itu untuk dijadikan dalam sastu kesatuan kaidah hukum, maka konstitusi itu disebut rechtsverfassung (Die verselbstndge rechtsverfassung). Tugas untuk mencari unsur haukaum dalam ilmu pengethuan hukum disebut dengan istilah abstraksi.
3. kemudian, orang mulai menulisnya dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi berlaku dalam suatu negara.Dengan demikian, menjadi jelas bahwa jika kita menghubungkan pengertian konstitusi dengan pengrtian undang-undang dasar merupakan sebagian dari pengertian konstitusi itu sendiri, berarti undang-undang dasar merupakan sebagian dari konstitusi dalam pengertian hukum.
Jadi menurut pembagian Herman Heller tersebut di atas, bahwa undang-undang dasar itu hanyalah sebagian dari konstitusi. Konstitusi sebenarnya tidak hanya bersifat yuridis semata, tetapib ada aspek sosiologis dan nilai-nilai filsafat lainnya yang terkandung di dalamnya.Suatu rechtsverfassung memerlukan dua syarat utama, yaitu tentang bentuk dan isinya. Yang dimaksud dengan bentuknya adalah sebagian naskah tertulis yang merupakan undang-undang dasar yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara, sedangkan isinya merupakan peraturan yang bersifat fundamental, yaitu tidak semua masalah yang penting harus dimuat dalam konstitusi, tetapi hal-hal yang bersifat pokok ( dasar) dan asas-asas saja.
Ferdinand Lassalle dalam bukunya Uber Versfassungswesen, membagi pengertian konstisusi dalam dua pengertian, yakni:
1. Pengetian sosiologi atau politis (sosiologische atau politische begrip). Sosiologi adalah sinthese faktor kekuatan yang nyata (Dereele mchtsfactorewn) dalam masyarakat.
2. pengertian yuridais (judische begrip). Konstitusi adalah suatu naskah yng memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi npemerintahan.
Menurut Carl Schmitt konstitusi dilihat dari segi pengertian dapat dikelompokkan menjadi empat pengertian, yakni:
1. konstitusi dalam arti absolut, yang terbagi atas:
a. konstitusi dianggap sebagai kesatuan organis yang nyata dan mencakup bangunan hukum dan semua organisasi-organisasi yang ada dalam negara.
b. Konstitusi sebagai bentuk negara, yang dimaksud bentuk negara adalah negara dalam arti keseluruhan.Bentuk negara itu dapat demokrasi atau monarki. Sendi demokrasi adalah identitas, sedangkan sendi pada monarki adalah representasi.
c. Konstitusi sebagai faktor integrasi .faktor integfrasi ini sifatnya abstrak dan fungsional.Abstrak, Misalnya, hubungannya, bahasa persatuannya, bendera sebagai lambang persatuannya, dan lain-lain. Sedangkan fungsional karena tugas konstitusi mempersatukan bangsa melalui pemilihan umum, referendum, pembentukan kabinet, suatu diskusi atau debat dalam politik pada negara-negara liberal, mosi yang diajukan oleh DPR, baik yang bersifat menuduh maupun tidak percaya.
d. Konstitusi sebagai sistem tertutup dari norma-norma hukum yang tertinggi didalam negara.
2. Konstitusi dalamarti relatif. Maksudnya, sebagai konstitusi yang dihubungkan dengan kepntingan suatu golongan tertentu didalam masyarakat, (misalnya, golongan borjuis). Konstitusi dalam arti relatif dibagi menjadi dua pengertian, yaitu:
a. Konstitusi sebagai tuntutan dari golongan borjuis liberal agar hak-haknya dijamin dan tidak dilanggar oleh penguasa.
b. Konstitusi dalam arti formal yang penting adalah prosedural pembuatan konstitusi yang dilakukan secara istimewa.karena isinya itu penting yang menyangkut nasib rakyat seluruhnya dan negara.
3. Konstitusi dalam arti positif. Dalam arti ini, konstitusi dapat dihubungkan dengan pendapat Carl schmitt yang mengatakan bahwa konstitusi dalam arti positif mengandung pengrtian sebagai keputusan politik yang tertinggi, karena undang-undang dasar telah mengubah struktur pemerintahan yang lama.
4. Konstitusi dalamarti ideal. Konstitusi ini adalah merupakan idaman dari kaum borjuis liberal sebagai jaminan bagi rakyat agar hak asasinya dilindungi.

B. MUATAN KONSTITUSI
Sistem pemerintahan sebagian besar negara-negara didunia adalah komposisi dari campuran aturan-aturan resmi dan tidak resmi.Kumpulan aturan-aturan itu disebut konstitusi.
1. Constitution as a means of forming the states own political and legal system.
2. Constitution as a national document, and as a birth certificate, and as a sign of adulthood and independence.
Kedua ahli tata negara belanda di atas, mengatakan bahwa selain sebagai dokumen nasional, konstitu\si juga sebagai alat untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum negaranya sendir.Itulah sebabnya, menurut A.A.H. Struycken, undang-undang dasar (grondwet) sebagi konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang memuat, antara lain:
1. Hasil perjuangan politik bangsa diwaktu yang lampau;
2. tingkatan-tingkatan tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk masa mendatang;
4. suatu keinginan diman perkembangan kehidupan ketatanegaraan hendak dipimpin.
Menurut Savonir Lohman, ada tiga unsur yang terdapat menyelinap dalam tubuh konstitusi-konstitusi sekarang, yaitu:
1. Konstitsi dipandang sebagai perwujudan perjanjian masyarakat (kontrak sosial) sehingga menurut pengertian ini, konstitusi-konstitusi yang ada adalah hasil atau konklusi dari persepakatan masyarakat untuk membina negara dan pemerintahan yang akan mengatur mereka.
2. Konstitusi sebagai piagam yang menjamin hak-hak manusia berarti perlindungan dan jaminan atas hak-hak manusia dan warga negara yang sekaligus penentuan batas-batas hak dan kewajiban, baik warganya maupun alat-alat pemerintahannya.
3. sebagai forma regimenis, berarti sebagai kerangka bangunan pemerintaha, dengan kata lain sebagai gambaran struktur pemerintahan negara.
Menurut J.G. Steenbeek, terdapat tiga muatan pokok konstitusi, yaitu:
1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negaranya;
2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental;
3. Adanya pembagian dan batasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
Muatan konstitusi menurut Miriam Budiardjo lebih luas cakupannya daripada pendapat J.G. Steenbeek, yaitu masuknya perubahan konstitusi sebagi salah satu muatan konstitusi. Adapun muatan konstitusi menurut Miriam Budiardjo, sebagai berikut:
1. Organisasi negara, misalnya, pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian, prosedural menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu bada pemerintah, dan sebagainya;
2. Hak-hak asasi manusia;
3. Prosedur perubahan undang-undang dasar;
4. adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar.
Jadi, dari konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara, akan diketahui tentang negara itu, baik bentuk kedaulatan maupun sistem pemerintahannya.

C. PROSEDURAL PERUBAHAN KONSTITUSI
Secara konseptual, konstitusi yang baik selalu menentukan sendiri prosedur perubahan atas dirinya sendiri. Perubahan yang dilakukan diluar prosedural yang ditentukan bukanlah perubahan yang dapat dibenarkan secara hukum(verfassung anderung). Inilah prinsip negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan prinsip negara demokrasi yang brdasarkan hukum (constitutoonal democracy) yang dicita-citakan oleh para pendiri republik kita.diluar itu, namanya bukan rechtsstaat, melainkan machtsstaa’ yang hanya menjadikan pertimbangan ‘ ‘revolusi pilitik’ sebagai landasan pembenar yang bersifat’ post factum’ terhadap perubahan dan pemberlakuaan suatu konstitusi.
George Jellinek membedakan dua cara perubahan undang-undang dasar, yaitu yang disebut Verfaasungsanderung dan Verfassungswandlung. Yang dimaksud Verfaasungsanderung adalah cara perubahan konstitusi atau undang-undang dasar yang dilakukan dengan sengaja dengan cara yang disebut dalam undang-undang dasar itu sendiri. Sedangkan yang disebut Verfassungswandlung adalah perubahan undang-undang dasar yang dilakukan tidak berdasarkan cara yang terdapat dalam undang-undang tersebut, tetapi melalui cara-cara istimewa, seperti revolusi, coup d’etat, conventions, dan sebagainya.jadi, menurut George Jellinek, perubahan undang-undang dasar dapat dilakukan menurut ketentuan formal yang diatur dalam undang-undang dasar, dan perubahan undang-undang dasar di luar ketentuan yang diatur dalam undang-undang dasar. Dalam hal ini, perubahan undang-undang dasar tidak menurut ketentuan-ketentuan formal yang ada dalam undang-undang dasar itu, tetapi berdasarkan ketentuan-ketentuan nonformal, yaitu hal-hal yang di luar ketentuan undang-undang dasar.Dalam hal ini, perubahan undang-undang dasar tidak menurut ketentuan-ketentuan formal yang ada dalam undang-undang dasar itu, tetapi berdasarkan ketentuan-ketentuan non-formal, yaitu hal-hal yang diluar ketentuan undang-undang dasar.
Menurut K.C. Wheare, ada empat macam cara yang dapat digunakan untukmengubah konstitusi atau undang-undang dasar melalui jalan penafsiran, yaitu:
1. Beberapa kekuatan yang bersifat primer (some primary forces);
2. Perubahan yang dianut dalam konstitusi (formal amandement);
3. Penafsiran secara hukum (judicial interpretation);
4. Kebiasaan yang terdapat dalam bidang ketatanegaraan (usage and convention).
Lebih lanjut C.F. Strong mengemukakan, ada empat cara utama perubahan konstitusi modern, yaitu:
1. By the ordinary legislature, but ande certain restrictions;
2. By the people through a referendum;
3. by a majority of all the units of a federal state;
4. by a special convention.
Miriam Budiardjo mengemukakan adanya empat macam prosedur, yang pada dasrnya sama dengan yang dikekukakan oleh C.F. Strong, sebagai berikut:
1. Sidang badan legislatif dengan ditambah beberapa syarat, misalnya dapat ditetapkan kuorun untuk sidang yang membicarakan usul perubahan undang-undang dasar danjumlah minium anggaran badan legislatif untuk menerimanya (Belgia, RIS 1949);
2. Referendum atau plebisit (Swiss, Australia);
3. Negara-negara bagian dalam negara federal ( Amerika Serikat: ¾ dari lima puluh negara-negara bagian harus menyetujui; India);
4. Musyawarah khusus (special convention) (beberapa negara amerika Latin).

Sementara itu Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State, menyatakan bahwa konstitusi sli dari suatu negara adalah karya para pendiri negara tersebut. Ada beberapa cara perubahan konstitusi menurut Kelsen, yaitu:
1. Perubahan yang dilakukan diluar kompetensi organ legislatif biasa dilembagakan oleh konstitusi tersebut, dan dilimpahkan kepada sebuah konstituante, yaitu suatu organ khusus yang hanya komponen untuk mengadakan perubahan-perubahan konstitusi.
2. Dalam sebuah negara federal, suatu perubahan konstitusi bisa jadi harus disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari sejumlah negara anggota tertentu.


D. DEMOKRASI KONSTITUSIONAL
Demokrasi telah menjadi istilah yang sangat diagungkan sejarah dalam pemikiran manusia tentang tatanan sosiopolitik yang ideal.Pada zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. Seperti diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950, dari 83 UUD negara-negara yang diperbandingkannya, terdapat 74 negara yang konstitusinya secara resmi menganut prinsip kedaulatan rakyat (90%). Demokrasi (Inggris: Democracy) secara bahasa berasal dari bahasa yunani, yakni Demokratia. Demos artinya rakyat (people) dan cratos artinya pemerintahan atau kekuasaan (rule). Demokrasi berarti mengandung makna suatu sistem politik d man rakyat memegang kekuasaan tertinggi, bukan kekuasaan oleh raja aatau kaum bangsawan. Konsep demokrasi telah lama diperdebatkan.Dengan adanya pemikiran ini, konsep –konsep agamawi yang tadinya dipakai sebagai dasar, kini bergeser menjadi konsep-konsep duniawi.
Sebuah negara menurut Amien Rais, disebut sebagai negara demokrasi jika memenuhi beberapa kriteria, yaitu:
1. Partisipasi dalam pembuatan keputusan
2. Persamaan didepan hukum,
3. Distribusi pendapat secar adil,
4. Kesempatan pendidikan yang sama,
5. Empat macam kebebasan, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan persuratkabaran, kebebasan berkumpul, dan kebebasan beragama.
6. Ketersediaan dan keterbukaan informasi.
7. Mangindahkan fatsoen tau tatakrama politik.
8. Kebebasan individu.
9. Seamangat kerja sama.
10. Hak untuk protes.
dengan demikian, dapat dikatakan bahwa demokratisasi berarti melawan monopoli kaum politis, pejabat, dan teknokrat untuk begitu saja menetukan apa yang terbaik bagi masyarkat. Robet A. Dahl mengajukan lima kriteria bagi sebuah demokrasi yang ideal, yaitu:
1. persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat,
2. partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sma bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif,
3. pembenaran kebenaran, yaitu adanya peluan yang sama bagi stiap orang untk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik danpemerintahan secara logis,
4. kontrol terkhir terhadap agenda, yaitu adanya adanya kekuasaan ekslusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda ana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaanitu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyarakat, dan
5. pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat yang tercakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum
Dahl juga mengindikasikan tujuh indikator bagi demokrasi secara empirik, yaitu:
1. control over governmental decition about policy is constitutionally;
2. eleqted official are chosen and peacefully removed in relatively frequent, fair, and free election in wich coercion is quite limited;
3. pratically all adults have the right to vote in this elections;
4. most adults have the right to run for public offices for wich candidates run these elections;
5. citizens have efectively enforced right to freedom of expresion, the conduct of government, the prevailing political, economy, and social system, and dominant ideologi;
6. they also have acces to alternative sources of information that are not monopolizeed by the government or any other single group;
7. finally they have and effectively enforced right form and join autonomous associations, including plitical associations, such as political parties and interest groups, that attempt to influence the goverenment by compeing in elections and by other peaceful means.

E. NEGARA HUKUM
Perkembangan konsep negar hukum merupakan produk dari sejarah,karena rumusan atau pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia.Karena itu, dalamrangka memahami secara tepat dan benar konsep negar hukum, perlu terlebih dahulu diketahui gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukumyang mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum. Selain itu, pemikiran tentang negar hukum sebenarnya sudah sangat tua, jauh lebih tua dari usia ilmu negara ataupun ilmu kenegaraan itu sendiri dan pemikiran tentang Negara Hukum merupakan gagasan modern yang multiperspektif dan selalu aktual.ditinjau dari perspektif historis, perkembangan pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan gagasan mengenai negara hukum sudah berkembang semenjak 1800 SM.akar terjauh mengenai perkembangan aeal pemikiran negara hukum dalah pada masa Yunani Kuno. Menurut Jimly Asshiddiqie, gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi Yunani Kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan hikum.
Pada masa Yunani Kuno pemikiran tentang negara hukum dikembangkan oleh para filsuf besar Yunani Kuno, seperti Plato (429-347 SM) Aristoteles (384-322 SM).Dalam bukunya politikus yang dihasilkan dalam penghujung hidupnya.
Konsep negara hukum menurut Aristoteles (384-322 SM) adalah negar yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar daripada keadilan itu, perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik.
Di indonesia, istilah negara hukum sering diterjemahkan rechtstaats atau the rule of law.Pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental.
Friedrich julius Stahl (sarjana Jerman) dalam karyanya: Staat and Rechtslehre II, 1878, h.137, mengkalimatan pengertian negara sebagai berikut:
Negara harus menjadi negara hukum, itulah semboyan dan sebenarnya juga daya pendorong daripda perkembangan pada zaman baruini. Negara harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jaln dan batas-batas kegiatannya, bagaimana lingkungan (suasana) kebebasan itu tanpa dapat ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan akhlak dari segi negara, juga secar5a langsung, tidak jauh lebh daripada seharusnya menurut suasana hukum. Inilah pengertian negara hukum, bukannya,misalnya,bahwa negara itu hanya mempertahankan tata hukum saja tanpa tujuan pemerintahan atau hanya melindungi hak-hak dari perseorangfan. Negar hukum pada umumnya tidak berarti tujuan dan isi daripada negara, melainkan hanya cara dan untuk mewujudkannya.
Lebih lanjut, Friedrich julius Stahl mengemukakan empat unsur rechtstaats dalam arti klasik, yaitu:
1. Hak-hak asasi manusia;
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-negara Eropa Kontinental biasanya disebut trias politica);
3. Pemerintahan berdasarkan peratura – peraturan ( wetimatigheid van bestuur);
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Paul Scholten menyebut dua ciri daripada negara hukum, yang kemudian diuraikan secara meluas dan kritis. Ciri yang utama daripada negara hukum ialah “er is recht tegenover den staat”, artinya kawula negara itu mempunyai hak terhadap masyarakat. Asas ini sebenarnya meliputi dua segi:
1. Manusia itu mempunyai suasana tersendiri,yang pada asasnya terletak di luar wewenang negara;
2. pembatasan suasana manusia itu hanya dapat dilakukan dengan ketentuan undang-undang, dengan peraturan umum.
Ciri yang kedua daripada negara hukum menurut Paul Scholten, berbunyi:”er is scheiding van machten”, artinya, dalam negara hukum ada pemisahan kekuasaan. Selanjutnya, Von Munch, misalnya, berpendapat bahwa unsur negara berdasarkan hukum ialah adanya:
1. Hak-hak asasi manusia;
2. Pembagian kekuasaan;
3. Keterikatan semua organ negara pada undang-undang dasar dan keterikatan peradilan pada undang-undang dan hukum.
4. Aturan dasar tentang proporsionalitas (verhaltnismassingkeit);
5. Pengawasan peradilan terhadap keputusan-keputusan (penetapan-penetapan)kekuasaan umum;
6. Jaminan peradilan dan hak-hak dasar dalam proses peradilan;
7. pembatasan terhadap berlaku surutnya unadng-undang.
Dalam bukunya, introduction to study of the law of the constitution, Albert Venn Dicey mengatakan mengetengahkan tiga arti dari rule of law : pertama , supremasi absolut atau predominasi dari reguler law untuk menentang pengaruh dari arbitary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, preogratif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah; kedua, persamaan dihadapi hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court, ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada diatas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk menaati hukum. Ketiga, konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber melainkan merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yan dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.

BAB III
PROSEDURAL PERUBAHAN UUD 1945

A. LANDASAN YURIDIS DAN TATA CARA PERUBAHAN UUD 1945

        Perubahan UUD 1945 diatur dalam pasal 37 UUD 1945, yang menegaskan bahwa untu mengubah undang0undang dasar 1945 sekurang-kurangnya terdapat 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir dan putusan untuk mengubah undang-undang. Dan perubahan itu diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Pada masa orde baru secara jelas telah menyimpang dari UUD 1945. Dalam kenyataanya, ketentuan pasal 37 telah dirubah dengan ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum. Adanya ketetapan MPR ini ditindak lanjuti denga pembentukan undang-undang No 5 1985 (tetang referendum). Dalam ketetapan tersebut dikatakan bahwa apabila MPR berkehendak untuk mengubah UUD 1945 terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum dan harus diikuti oleh 90 % penduduk. Hal inilah yang menyebabkan perubahan UUD 1945 sangat mustahil. Namun karena besarnya tekanan untuk mengadakan perubahan yang berjalan mengiringi jatuhnya rezim orde baru dan mendorong MPR untuk mencabut ketetapan MPR No. IV/1983 pada Sidang Istimewa MPR tahun 1998. Dengan adanya pencabutan tersebut maka indonesia kembali memberlakukan pasal 37 UUD 1945.

B. UUD 1945; PENGGANTI ATAU PERUBAHAN?

       Setelah kembali memberlakukan pasal 37 ternyata ada sebagian kelompok yang ingin merubah UUD secara total dengan alasan, bahwa UUD 1945 perlu dirombak secara total sehingga perubahannya haruslah dalam bentuk penggantian UUD 1956 dengan konstitusi baru. Sementara sebagian pihak yang lain memandang bahwa UUD 1945 masih perlu dipertahankan karena adanya pembukaan UUD 1945. hal ini didasari atas pengalaman sejarah pada konstituante ataupun berdasarkan pertimbangan praktis bahwa mengubah pembukaan UUD 1945 berarti juga mengubah konsensus politik tertinggi. Pendapat lain jika kita merubah pembukaan UUD 1945 berarti kita membubarkan negara Indonesia. Maka karena alasan-alasan itulah maka hanya dilakukakan perubahan model amandemen, seperti yang dilaksanakan AS. Terdapat dua argumen yang mendukung amandemen ini yaitu ; pertama, dari hasil studi terlihat bahwa UUD 1945 pada dasarnya sudah mengandung konsep-konsep demokratis. Kedua, UUD 1945 merupakan faktor penting yang telah berhasil mengikat bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagi suku bangsa.

C. PERUBAHAN DILUAR KERANGKA UUD 1945 (BUITEN DE GRONDWET)

        Pelaksanaan SI MPR mempunyai pengaruh besar dalam perubahan keteta negaraan Republik Indonesia. Pada saat SI MPR 1998 digelar, telah terjadi perubahan terhadap ketentuan yang terdapat pada UUD 1945 yang dilakukan MPR tanpa menggunakan prosedur sesuai dengan Pasal 37 UUD 1945. bagian yang mengalamiperubahanadalah Pasal 7 UUD 1945, yang kemudian diganti oleh Ketetapan MPR No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Perubahan tersebut cukup dilematis. Di satu sisi pembatasan masa jabatan memang harus dilaksanakan. Di sisi lain perubahan tersdebut mandul, karena selain tidak dengan menggunakan prosedur yang seharusnya, perubahan tersebut yang dimuat dalam ketetapan MPR, yang kedudukannya di bawah UUD, apalagi pada saat itu Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 belum dicabut.
Ini berarti perubahan terhadap Pasal 7 UUD1945 pada SI MPR 1998 merupakan perubahan di luar kerangka UUD1945 (buiten de grondwet) atau amandemen yang dilakukan MPR melalui interpretasi hukum.

BAB IV
KONFLIK POLITIK PASCA KEJATUHAN SOEHARTO

A. KONFIGURASI POLITIK MENJELANG SI MPR 1998

          Kejatuhan Soeharto tanggal 21 Mei 1998 menjungkir balikkan banyak analisis dan ramalan. Banyak yang memprediksikan bahwa Soeharto tidak akan jatuh dalam waktu dekat meski situasi politik pada saat itu menghangat dan banyak gelombang aksi demonstrasi mahasiswa, termasuk Bill Liddle. Namun belum genap satu bulan ramalan Liddle tersebut Soeharto Jatuh.
“Kerelaan” untuk mundur secara tiba-tiba tampaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah semakin memburuknya keadaan ekonomi saat itu yang dipengaruhi oleh krisis ekonomi yang terjadi secara global di Asia Tenggara. Faktor kedua, setelah terpilih sebagai presidan untuk ketujuh kalinya,Soeharto justru menunjukkan sikap yang sulit dimengerti (erratic). Pengangkatan anggota Kabinet Pembagunan Ketujuh adalah contohnya. Pada saat masyarakat mendesak diberantasnya korupsi, Soeharto justru memilih nama-nama yang paling tercemar KKN.
Terus memburuknya situasi ekonomi dan ketidakpedu;ian Soeharto akan aspirasi serta tuntutan reformasi telah membuat mahasiswa semakin gencar meakukan demonstrasi. Sejak Soeharto menerima pencalonan sebagai presiden dan terpih kembali mahasiswa tidak henti-hentinya terus turun ke jalan. Gertakan dan imbauan Soeharto unuk kembali ke kampus tidak digubris bahan tertembaknya empat orang mahasiswa tidak menyurutkan niat mereka untuk menggulingkan soeharto. Bahkan, akhirnya aksi protes yang didukung oleh berbagai elemen masdyarakat tersebut meluas. Puncaknya yaitu terjadi pada tanggal 18 sampai 23 Mei 1998, dengan didudukinya gedung DPR oleh mahasiswa. Tekanan mahasiswaini tentu saja menjadi andil besar bagi turunnya Soeharto.
Gelombang reformasi yang terjadi begitu cepat tentu saja mejadi arus yang sangat deras, hingga membuat orang-orang tergagap-gagap untuk mengikutinya. Karakteristik masyarakat pun berubah, yang sebelumnya cenderung fatalis(pasrah) berubah menjadi masyarakat yang rebalis (pemberontak).
Meski pasca kejatuhan Soeharo tersebut dengan lantang mengembangkan isu perubahan di bidang politik, hukum dan ekonomi, namun sebenarnya perubahan tersebut hanya terkemukakan oleh lisan. Secara tebuka hampir tidak kedengaran konsep perubahan yang sesungguhnya. Di sinilah lemahnya reformasi di Indonesia, terkesan perubahan tersebut tidak terkonsep dan-asal asalan yang menjadi bumerang bagi masa pemerintahan peralihan B.J. Habiebie.

B. PRO-KONTRA LEGITIMASI PRESIDEN HABIEBIE

        Naiknya Wakil Presiden B.J.Habibie menjadi Presiden menyusul terhentinya Soeharto memicu kontroversi. Pada tahap awal pemerintahan B.J.Habibie wacana pro-kontra, apakah Habibie menjadi presiden telah konstitusional ataukah tidak (sah),menjadi wacana yang signifikan bagipotensi konflik selanjutnya, terutama didataran elite politik nasional.

C. KONFLIK SI MPR 1998 DAN PENOLAKAN PERTANGGUNGJAWABAN HABIBIE

      Menjelang sidang istimewa (SI) MPR yang diselenggarakan pada tanggal 10-13 November 1998, media massa dijakarta memberitakan bakal terjadi konflik besar-besaran antara kelompok Pro SI versus kelompok yang kontra SI.Inti dari pemberitaan-pemberitaan tersebut bermuara pada dua kelompok besar, (yakni massa pro dan massa kontra SI) menjelang berlangsungnya SI MPR, dan masing-masing kelompok melakukan semacam ‘perang urat syaraf’. Suasana menjelang hari-H SI MPR diliputi ketegangan-ketegangan politik.
Ketegangan politik menjelan SI MPR 1998, juga dipengaruhi oleh konflik internal yang terjadi ditubuh Golkar dan PDI.Di tubuh Golkar, menjelangmunas luar biasa yang digelar 9-11 Juli 1998, persaingan antarelite di tubuh Golkar semakin terbuka dan menunjukan peta yang jelas, yakni antar kubu Akbar tandjung (Messesneg kabinet Habiie) dan kubu Edi Sudrajat (yang mendapat dukungan dari mantan Wapres Tri Sutrisno).

BAB V
AMANDEMEN PERTAMA UUD 1945

Menjelang Pemilu 1999, intensitas konflik makin meningkat. Kondisi tersebut tetap berlanjut sampai dengan pelaksanaan proses amandemen pertama UUD 1945 pada sidang umum (SU) MPR tanggal 1 sampai dengan 20 Oktober 1999.Jadi, dalam situasi inilah proses amandemen pertama Uud 1945 berlangsung.

A. TAHAPAN PROSES AMANDEMEN UUD 1945

Tahapan-tahapan pengambilan keputusan dalam amandemen pertama UUD 1945 mengacu pada mekanisme pengambilan keputusan MPR yang terdapat pada Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 Tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Pengambilan keputusan majelis berdasarkan ketetapan ini melalui empat tingkat pembahasan:
1. Tingkat I
Pembahasan oleh badan pekerja (BP) majelis terhadap bahan-bahan yang masuk.Hasil dari pembahasan tersebut merupakan rancangan keputusan majelis sebagai pokok pembicaraan di tingkat II.

2. Tingkat II
Pembahasan dalam rapat paripurna majelis yang didahului oleh penjelasan pimpinan dan dilanjutkan dengan pemandangan umum fraksi-fraksi.
3. Tingkat III
Pembahasan oleh komisi/oanitia ad hoc majelis terhadap semua hasil pembicaraan tingkat I dan II. Hasil pembahasan tingkat III ini merupakan rancangan keputusan majelis.
4. Tingkat IV
Pengambilan putusan oleh rapat paripurna majelis setelah mendengar laporan dari pimpinan komisi / panitia ad hoc majelis dan bilamana perlu dengan kata terakhir dari fraksi-fraksi.

B. PEMBENTUKAN BADAN PEKERJA MPR

Pembahasan awal amandemen pertama dilakukan di tingkat badan pekerja MPR. Mengacu pada Pasal 31 ayat (2) Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1999, badan pekerja majelis, terdiri atas 90 orang yang susunannya mencerminkan perimbangan jumlah anggota fraksi dalam majelis.Sebagai alat kelengkapan majelis, badan pekerja memiliki empat tugas pokok, yakni:
1. Mempersiapkan rancangan acara dan rancangan putusan-putusan sidang umum, sidang tahunan atau sidan istimewa.
2. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pimpinan majelis menjelang sidang umum, sidang tahunan, atau sidang istimewa.
3. Melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh majelis, sebagaimana dimaksud pada butir 1 dan 2.
4. Membantu pimpinan majelis dalam rangka melaksanakan tugas-tugas pimpinan majelis sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

C. PEMANDANGAN UMUM FRAKSI ATAS AMANDEMEN PERTAMA

Pada rapat ke-2 BP MPR tanggal 6 Oktober 1999 dilaksanakan pemandangan umum fraksi terhadap perubahan UUD 1945. Pemandangan umum fraksi ini memiliki arti yang sangat penting dalam upaya menuju desakralisasi UUD 1945 di tingkat lembaga perwakilan. Makna tersebut menjadi salah satu alasan untuk menelaah persepsi partai politik pemenang pemilu 1999 terhadap public pressure (tuntutan masyarakat) menyangkut agenda amandemen konstitusi indonesia melalui fraksinya di MPR.

D. PEMBAHASAN DI PAH III BP MPR

Proses pembahasan usulan peruhahan UUD 1945 yang berlangsung dalam rapat-rapat PAH III, dimulai tanggal 7-13 oktober 1999. Pembahasan di forum tersebutmerupakan babak kedua pembahasan tentang agenda perubahan UUD 1945. Sebelumnya, pada rapat kedua BP MPR telah disampaikan pemendangan umum fraksi-fraksi atas amndemen UUD 1945. Adapun mekanisme yang digunakan oleh PAH III BP MPR dalam melakukan pembahasan atas materi perubahan UUD 1945 sebagai berikut:
1. Tiap-tiap fraksi diberikan kesempatan untuk menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai amandemen UUD 1945 yang diusulkan untuk diamandemen/diubah.
2. Setelah dituangkan dalam daftar inventarisasi materi (DIM), selanjutnya materi UUD 1945 yang diusulkan oleh tiap-tiap fraksi untuk diamandemen dikompilasi oleh tim perumusyang keaggotaannya, terdiri atas pimpinan PAH III BP MPR dan wakil-wakil fraksi yang tidak terwakili dalam unsur pimpinan.Tiap-tiap fraksi diwakili oleh satu orang.
3. Hasil kompilasi materi amandemen UUD 1945 (setelah disepakati oleh forum rapat PAH III) dibahas sesuai dengan urutan prioritas yang disepakati oleh semua fraksi.
4. Materi yang telah disepakati akan diminta persetujuan untuk disahkan dalamforum rapat PAH III.
Materi-materi yang menjadi pembahasan pada rapat panitia ad hoc III BP MPR dapat dikelompokkan pada lima bagian utama, yakni:
1. Kedaulatan Rakyat dan komposisi MPR
Masalah kedaulatan rakyat diatur dalam pasal 1. Dalam pasal ini, UUD 1945 menyatakan secara eksplisit bahwa UUD menganut asas kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Dalam pejelasan umum UUD 1945 angka 3 disebutkan : “....sistem negara yanga terbentuk dalam UUD 1945 harus berdasarkan atas kedulatan rakyat yang berdasar atas permusyawaratan perwakilan.” Valina Singka Subekti berpendapat Apabila nanti MPR, presiden, dan DPR sudah dipilih secara langsung oleh rakyat, pasal 1 ayat (2) UUD 1945 perlu ditinjau kembali. Sedangkan Patrialis Akbar mengajukan konsep agar MPR memiliki kewenangan memilih lembaga-lembaga tinggi negara dan menyelenggarakan sidang MPR setiap tahun. Andi Mattalatta mengatakan bahwa untuk sidang umum MPR tidak terkait dengan shedule karena bisa diadakan setiap lima tahun, atau setiap tahun. Sedangkan untuk sidang istimewa MPR hanya dilaksankan untuk meminta pertanggungjawaban presiden. Masalah laian yaitu menyangkut pengaturan komposisi MPR. Menurut Hamdan Zoelva, aneh jika undang-undang diatur dengan undang-undang, karena MPR merupakan lembaga yang lebih tinggi kedudukannya dari DPR.. aberson Marie Sihalolo mengusulkan agar perlu adanya pengkongkretan, yakni: utusan daerah harus dipilih oleh rakyat langsung melalui daerah pemilihannyamasing-masing. Begitupun dengan Khofifah Indar Parawansa mengungkapkan hal yang sama. Mengenai ketentuan dalam penjelasan UUD 1945, yang menyatakan bahwa MPR memegang kekuasaan yang tidak terbatas G. Seto Harianto mengusulkan agar MPR bernai mengadakan perubahan interpretasi. Menurutnya kekuasaan MPR harus dibatsi.
2. Presiden dan Wakil Presiden
Pembahsan mengenai presiden dan wakil presinden mendapat sorotan dari para anggota ad hoc III BP MPR. Mulai dari hak-hak presiden, masa jabatan, sistem pengisian jabatan, sampai dengan masalah pertanggung jawaban merupakan perdebatan yang cukup panjang, ternyata tidak jelasnya batas kewenangan presiden dalam menjalankan fungsinya menjadi akibat adanya salah pengertian dalam mengenali hak-hak tertentu yang dimiliki oleh presiden berdasarkan UUD 1945, karena adanya fungsi presiden sebagai kepala negara. Hak tersebut masih jadi kesalahfahaman oleh pihak sebagai hak prerogatif presiden dan tidak dapat digugat oleh lembaga-lembaga lain. Sebanarnya UUD 1945 tidak menyebutkan tentang hak prerogatif ini , tapi dalam praktiknya hal ini sudah dikenal luas dan bahkan menjadi argumen utama dalam membenarkan penggunaan hak-hak tertentu oleh presiden. Sehingga banyak usulan yang menyatakan agar lembaga kepresidenan dibatasi kewenagannya, masa jabatanya dan hanya dapat dipilih satu kali saja.
3. Dewan Perwakilan Rakyat
Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, menyatakan MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan utusan gologan yang ditetapkan dengan undang-undang. Tapi pasal 20 UUD 1945 memberi kesempatan pada presiden untuk memanipulasi susunan keanggotaan MPR. Hal ini mengundang ususlan diantaranya agar DPR memegang kekuasaan legislatif lepas dari lembaga eksekutif, agar kewenangan-kewenagan yang dimiliki DPR dimasukan kedalam perubahan UUD 1945. Khofifah Idar Parawansa menusulkan agar DPR berperan serta dalam penyusunan kabinet.
4. Mahkamah Agung
Tiga persoalan yang menjadi inti pembahasan.
a. Masalah judicial review
b. Kemandirian lembaga kehakiman dan peradilan
c. Hubungan kerja antara eksekutif dan yudikatif.
Kekuasaan ini diatur dalam pasal 24 dan 25 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuassaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka. Patrialis Akbar mengusulkan agar judicial review diamuat dalam perubahan UUD 1945 . Menurutnya MA tidak berhak melakukan judicial review karena undang-undang merupakan produk wakil rakyat dan presiden. Hamdan Zoelva mengusulkan agar dibentuk Dewan Kehormatan Hakim yang dibentuk dari unsur kalangan hakim dan ahli hukum yang bertugas menilai kinerja hakim.
5. Dewan Pertimbangan Agung
Terdapat 3 tugas utama untuk DPA yaitu :
a. DPA adalah sebuah badan penasehat pemerintahan.
b. DPA berkewajiban memberikan jawaban atas pertanyaan presiden
c. DPA berhak mengajukan usulan dan wajib mengajukan pertimbangan-pertimbangan kepada presiden.
Menurut Hamdan Zoelva, DPA perlu dihapuskan, senada dengan Asnawi Latief dan Aberson Marie Sihaloho. Aberson berpendapat “karena itu hanya membuang-buang uang rakyat, kalau dulu memang dibutuhkannasihat-nasihat dari tokoh golongan karena komunikasi yang masih sangat minim waktu itu. FPKB pada mulanya mengusulkan agar DPA dihapuskan, karena DPA ini kurang fungsional dan cendrung menjadi lembaga akomodasi politik. Tapi FPKB mencabut usulannya.

E. TUJUH PRIORITAS AMANDEMEN UUD 1945

Tanggal 7 Oktober 1999, PAH III BP MPR menmyepakati tiga persoalan utama. Pertama, tentang amandemen UUD 1945, semua fraksi di MPR sepakat untuk melakukan amandemen UUD 1945. kedua, menyangkut ruang lingkup amandemen. PAH III menyepakati bahwa pembukaan UUD 1945 tidak dirubah, yang dirubah adalah batang tubuh dan penjelasan UUD 1945, dan hal yang bersifat normatif dalam UUD 1945 dimasukan dalam batang tubuh. Ketiga, menyangkut prioritas perubahan UUD 1945, disepakati bahwa BP MPR hsnys melakukan amandemen dengan prioritas hal-hal yang mendesak sesuai kesepakatan semua fraksi. Hal-hal mendesak tersebut terdiri dari tujuh prioritas yaitu: pembahasan mengenai pemberdayaan lembaga tertinggi negara (MPR), pengaturan kekuasaan pemerintah negara dan pembatasan masa jabatan presiden, peninjauan kembali lembaga tinggi negara dengan kekuasaan konsultatif (DPA), pemberdayaan lembaga legislatif (DPR), pemberdayaan lembaga auditing finansial (BPK), pemberdayaan dan pertanggung jawaban lembaga kehakiman, pembahasan mengenai bank indonesia dan TNI/polri.

F. PEMBAHASAN PADA TINGKAT KOMISI

Rapat komisi C dilaksanakan pada tanggal 18 Oktober 1999 telah menyepakati hasil-hasil BP MPR atas amandemen UUD 1945. adapun hasil tersebut yaitu;
1. pasal 5 ayat (1), menjadi “ presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”, ayat (2) tetap.
2. pasal (6) dibahas pada sidang BP MPR, setelah sidang umum MPR 1999
3. pasal 7 menjadi, “presiden dann wakil presiden memegang jabatan DPR\selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali msa jabatan.”
4. pasal 9 ayat (1) tetap dan ayat (2) “ jika MPR atau DPR tidak dapa mengadakan sidang, presiden dan wakil presiden bersumpahmenurut agama, atau berjanji dengan sunngguh-sungguh dihadapan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan MA”
5. pasal 13 menjadi 3 ayat yaitu; ayat (1) tetap, ayat (2). Dalam hal mengangkat duta, presiden memperhatikan pertimbangkan DPR. Ayat (3), presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
6. pasal 14 menjadi 2 ayat, yaitu; ayat (1) presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA. Ayat (2) presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
7. pasal 15 menjadi “presiden memberi gelar, tanda jasa , dan tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.”
8. pasal 17 menjadi 4 ayat, yaitu; (1) presiden dibantu oleh mentri-mentri. (2) mentri-mentri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden. (3) setiap mentri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. (4) presiden membentuk departemen dengan memperhatika pertimbangan DPR. Ayat empat akan dibahas ulang dalam BP MPR setelah sidang umum MPR 1999.
9. pasal 20 yang awalnya 2 ayat menjadi 5 ayat, yaitu ; (1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. (2) setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. (3) jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. (4) presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. (5) jika dalam waktu 30 hari rancangan undang-undang itu belum disahkan oleh presiden, rancanagn itu sah menjadi undang-undang.(ayat ini akan dibahas ulang pada SU MPR 1999)
BAB VI
AMANDEMEN KEDUA UUD 1945

A. PEMBENTUKAN PAH I BP MPR

Pasca penetapan perubahan pertama UUD 1945 pada SU MPR 1999 tanggal 19 Oktober 1999, MPR berdasarkan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1999,menugaskan BP MPR untuk melanjutkan perubahan UUD 1945.
Dalam rapat paripurna ke-4 BP MPR tanggal 25 November 1999 telah disepakati perlunya dibentuk tiga panitia ad hoc (PAH) yang terdiri atas panitia PAH I, PAH II, dan PAH khusus.

B. PANDANGAN FRAKSI ATAS AMANDEMEN KEDUA

Sesuai dengan jadwal rapat PAH I BP MPR yang telah disepakati, pada rapat ketiga PAH I tanggal 6 Desember 1999 dilaksanakan pemanangan umum fraksi atas amandemen kedua UUD 1945.Adapu beberapa fraksi yang memberikan usulan amandemen kedua UUD 1945 dari fraksi-fraksi MPR.
1. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP)
2. Fraksi Partai Golkar (FPG)
Fraksi mengusulakan 13 macam materi yang menjadi bagian pembahasan.Ke-13 materi tersebut adalah:
a. Peneguhan bentu negara kesatuan.Isinya meliputi bentuk negara, asas-asas dasar negara, wilayah negara, pembagian wilayah negara, dan otonomi daerah dengan keragaman kondisi geografi dan demografi.
b. Peningkatan wewenang MPR. Yang meliputi struktur, komposisi keanggotaan, tugas dan wewenangnya.
c. Peningkatan peranan DPR. Sejalan dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, checks and balance, maka presiden herus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR.
d. Pengaturan tentang kondisi presiden jika berhalangan tetep, sebaiknya tidak dirumuskan di dalam bentuk Tap. MPR, tetapi menjadi bagian dari batang tubuh UUD1945.
e. Tugas dan weweenang lembaga kekuasaan kehakiman. Perlu diperteagas, menyangkut kekuasaan Mahkamah Agung.
f. Pemberdayaan BPK dengan memperluas ruang lingkupnya sehingga mencakup pengawasan dan pemeriksaan keuangan negara.
g. Meningkatkan Lembaga Kejaksaan Agung ssebagai lembaga negara yang mandiri.
h. Pemgkajian ulang DPA. Peranan dan fungsi DPA perlu diperjelas.
i. Perluasan masuknya butir-butir HAM sebagai perwujudan kehendak negara Indonesia menjunjung tinggi HAM.
j. Pentingnya mengatur hubungan luar negri untuk kepentingan nasional.
k. TNI/Polri diarahkan menjadi alat negara yang profesional.
l. Petingnya mewujudkan sistem ekonomi yang mewujudkan kemakmuran dan kemajuan bangsa.
m. Adanya jaminan kesejahteraan sosial untuk seluruh warga negara.
3. Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB)
Dalam pandangan mengenai pembahasan tentang perubahan UUD 1945, FPKB berpendapat bahwa perubahan atau penyempurnaan terhadap UUD 1945 harus dilakukan secara selektif, cermat, dan penuh kearifan.Dalam pandangan fraksi FPKB mengusulkan enam materi yang diamsuakan dalamperubahan kedua, keenam materi tersebut sebagai berikut:
a. Kekuasaan kehakiman
Kekuasaan kehakiman yang merdeka, mandiri, dan profesional harus secara eksplisit dicantumkan di dalam UUD 1945 hasi perubahan.
b. Bank Indonesia
Kedudukan Bank Indonesia (BI) sebagai Bank sentral sangat strategis, untuk itu perlu diatur dalam UUD dan tidak cukup hanya dalam penjelasan UUD, apalagi hanya dalam bentuk UU.
c. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
d. Pengaturan Masalah Perekonomian
e. Pemerintahan Daerah
f. Hak Asasi Manusia
4. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP)
FPPP menyampaikan lima materi pada pembahasan amandemen kedua UUD 1945. Berikut, kelima materi usulan FPPP tersebut:
a. Lembaga Kepresidenan.Yang menjadi pokok pembahasan:
1) Syarat menjadi presiden
2) Kekuasaan presiden
b. Lembaga MPR
c. Lembaga-lembaga lain yang ada dalm UUD 1945 tetap dipertahankan, hanya struktur UUD disempurnakan.
d. Otonomi luas perlu dipertegas secara rinci dalam UUD.
e. Dalam UUD perlu adanya bab tersendiri tentang penegakan HAM.
5. Fraksi Partai Bulan Bintang (FPBB)
Dalam fraksi ini dibahas 13 materi amandemen kedua, yaitu:
a. Masalah Bentuk Negara
b. Masalah Kedaulatan Rakyat
c. Masalah Majelis Permusyawaratan Rakyat
d. Masalah Kepresidenan
e. Masalah Dewan Pertimbangan Agung
f. Masalah Kementrian Negara
g. Masalah Pemerintahan Daerah
h. Masalah Dewan Perwakilan Rakyat
i. Masalah Keuangan dan BPK
j. Masalah Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah Agung.
k. Masalah Warga Negara
l. Masalah Hak Asasi Manusia
m. Masalah Agama
6. Fraksi Partai Daulatul Umah (FPDU)
Dalam fraksi ini membahas:
a. Mengenai Lembaga Kepresidenan
b. Lembaga MPR
c. Kelembagaan DPR
d. Lembaga DPA
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
f. Kekuasaan Kehakiman
7. Fraksi Reformasi
Dalam fraksi ini membahas mengenai:
a. Masalah hubungan tata kerja lembag tertinggi negar dengan lembaga-lembaga tinggi negara(Pasal 2).
b. Kualifikasi Presiden (Pasal 6).
c. Keadaan presiden dan/Wkil presiden Republik Indonesia berhalangan (Pasal).
d. Cara negara menyatakan perang, membuat perdamaian, konvensi, dan perjanjian dengan negara lain, termasuk pengadaan pinjaman luar negeri (Pasal 11).
e. Fungsi, peran, dan tata kerja dewan Pertiombangan Agung (Pasal 6).
f. Kementrian Negara (Pasal 17).
g. Pemerintahan Daerah (Pasal 18).
h. Tata kerja Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 19 ayat(2))
i. Hal kkeuangan, khususnya fungsi, peran, dan tat kerja Badan Pemeriksa Keuangan dan bank sentral (Pasal 23).
j. Kekuasaan kehakiman, khususnya kedudukan, fungsi, peran, dan tata kerja Mahkamah Agung (Pasal 24).
k. Pertahanan negara dan keamanan negara (Pasal 30).
l. Tujuan pendidikan dan pengajaran nasional (Pasal 31).
m. Kesejahteraan sosial, sumber daya alam, dan lingkungan hidup (Pasal 33).
8. Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (FKKI)
Dalam fraksi ini membahas mengenai:
a. Susunan keanggotaan MPR disempurnakan dan lebih didemokrasikan.
b. Masalah proses pemilihan umum dialaksanakan langsung.
c. Pasal mengenai pengakuan dan perlindungan HAM ditingkatkan statusnya dan dirumuskan dalam pasal-pasal UUD.
d. Mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara.
e. Sistem sentralisasi kekuasaan tidaklah mencerminkan asas demokrasi.
f. Posisi serta kedudukan TNI/Polri, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, harus dijaga kemandiriannya.
g. Pengisian keanggotaan DPA dengan orang-orang yang ahli agar pertimbangan yang disampaikan benar-benar mendasar dan bermanfaat untuk kepentingan bangsa dan negara.
9. Fraksi demokrasi Kasih Bangsa (FPDKB)
Dalam fraksi ini membahas:
a. Muatan amandemen UUD 1945.
b. Lembaga Pemegang Kedaulatan rakyat.
c. Presiden Lembaga Eksekutif dan legislatif.
d. Dewan Pertimbangan Agung.
e. Dewan Perwakilan Rakyat.
f. Badan Pemeriksa Keuangan.
g. Mahkamah Agung.
10. Fraksi TNI/Polri
11. Fraksi Utusan Golongan (FUG)
a. FUG menegaskan tentang perlunya pembagian kekuasaan yang jelas diantar tiga cabang kekuasaan yang disebutkan dalam trias politica,yaitu: Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif berdasarkan prinsip checks and balances.
b. Perlunya meninjau kembali susunan, kedudukan, dan keanggotaan berbagai lembag tinggi negara lainnya seperti DPA, BPK, kejaksaan Agung, dan BI (Bank Indonesia).
c. Perlu adanya penegasan mengenai otonomi daerah.
d. Menurut hak-hak asasi manusia secara lengkap di dalam UUD 1945.
e. Batang tubuh UUD 1945 harus secara tegas mengatur persoalan yang berkaitan dengan sistem ekonomi indonesia.
f. TNI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan.
g. Pengaturan masalah keadilan gender.

C. CATATAN ATAS PEMANDANGAN UMUM FRAKSI

Banyak fraksi yang memberikan pandangan tentang materi pada amandemen kedua UUD 1945 terlihat adanya kecenderungan keinginan dari mayoritas fraksi untuk memperkuat posisi lembaga perwakilan (MPR dan DPR) dan “memperlemah” posisi eksekutif(presiden) dengan bewrbagai macam ketentuan yang mengikat posisinya, baik sebagai kepala pemerintahan maupun sebagai kepala negara.
Disamping itu, pandangan mayoritas fraksi cenderung melihat bahwa amandemen terhadap UUD 1945 berdasarkan perubahan pasal per pasal, bukan perubahan substansi dari UUD 1945.Dari pandangan fraksi (terutama FTNI/POLRI dan FPBB) terlihat bahwa perubahan batang tubuh hanya berdasarkan pasal atau bab yang dipandang tidak relevan lagi tanpa melihat jiwa atau kandungan substansi yang selama ini menjadi titik persoalan.Penilaian semacam ini merupakan akumulasi dari pola yang digunakan fraksi dalam menyampaikan materi usulan pada amandemen pertama.Jika ini tetap dipertahankan, penilaian amandemen UUD 1945 dilakukan secara piecemeal tidak terbantahkan lagi.

D. MASUKAN MATERI AMANDEMEN DARI LEMBAGA NEGARA

Dalam penyempurnaan bahan-bahan yang akan digunakan oleh PAH I BP MPR dalam menyusun amandemen kedua UUD 1945, PAH I mengundang pimpinan beberapa lembaga tinggi negara guna menerima masukan atas materi-materi yang sebaiknya menjadi prioritas terhadap amandemen UUD 1945.
1. Bank Indonesia
Mengenai BI dalamperspektif UUD 1945, dijelaskan bahwa dalam batang tubuh UUD 1945 tidak diatur tentang Bank Indonesia.BI mengusulkan agar Pasal 23 diubah menjadi Pasal 23A.

2. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004 yang ditetapkan dengan Tap MPR No. IV/MPR/1999, antar lain, menyatakan bahwa penyelenggaraan negara dilaksanakan melalui pembangunan nasional dalam segala aspek kehidupan bangsa, oleh penyelenggara negara, yaitu lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara bersama-samasegenap rakyat indonesia diseluruh wilayah negara Republik Indonesia.
3. Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
Agar keberadaan DPA sebagai badan penasihat dapat lebih efektif dan bermakna bagi penyelenggaraan good governance, maka disamping tugas umumnya, seperti yang diatur dalam Pasal 16 UUD 1945, tugas dan fungsi DPA perlu ditingkatkan dengan tugas-tugas yang lebih spesifik.
4. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung menjelaskan bahwa Mahkamah Agung mengusulkan agar Bab IX Kekuasaan Kehakiman, Pasal 24 dan 25 UUD 1945 berikut penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 diubah atau disempurnakan guna memperjelas kedudukan dan wewenang Mahkamah Agung.
5. Lembaga Ketahanan Nasional
6. Kepolisian Negara Republik Indonesia
Kapolri memberi masukan mengenai perubahan UUD 1945 yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Polri.

E. HASIL PEMBAHASAN PAH I BP MPR

Pada rapat awal pembahasan amandemen kedua pasca –SU MPR 1999, PAH I BP MPR sudah melaksanakan agenda pandangan fraksi atas amandemen dan dilanjutkan public hearing dengan para pakar hukum, serta mendengar masukan-masukan materi dari lembaga negara, LSM, dan Organisasi, serta unsur perguruan tinggi dan kunjungan ke daerah serta beberapa negar didunia.

F. PEMBAHASAN DI KOMISI A ST MPR 2000

1. Warga Negara dan Penduduk
2. Pertahanan dan Keamanan
3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
4. Pemerintah Daerah
5. Wilayah Negara
6. Hak Asasi Manusia
7. Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Hukum
8. Pemilu dan Dewan Perwakilan Daerah
9. Keuangan dan BPK

G. HASIL PEMBAHASAN

Dari 20 bab yang diagendakan untuk dibahas dalam komisi Amandemen, ternyata hanya 12 bab yang sempat disentuh.Itu pun hanya sempat menyelesaikan 7 bab saja.Komisi amandemen sepakat agar Badan Pekerja MPR melanjutkan pembahasan perubahan UUD 1945 sesuai bahan-bahan yang telah disiapakan oleh Badan Pekerja MPR yang masih ada dan belum sempat dibahas dalam rapat pleno komisi A adalah adalah sebagi berikut:
1. Bab Bentuk Dasar dan Kedaulatan
2. Bab Kekuasaan pemerintahan Negara
3. Bab Majelis Permusyawaratan Rakyat
4. Bab Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial.
5. Bab Pendidikan dan Kebudayaan
6. Bab Agama.
7. Bab Perubahan Undang-Undang Dasar
8. Bab Tentang Dewan Pertimbangan Agung
Pada rapat paripurna ke-9, Sidang Tahunan MPR tahun 2000 tanggal 19 Agustus 2000, MPR berhasil menetapkan amandemen kedua UUD 1945.

BAB VII
AMANDEMEN KETIGA UUD 1945

A. AGENDA ST MPR 2001

Menyangkut proses amandemen UUD 1945, terdapat dua hal yang berkaitan dengan rancangan perubahan UUD 1945 hasil BP MPR.Pertama, terdapat materi rancangan perubahan dalam bentuk sebuah rumusan yang telah disepakati oleh semua fraksi amjelis, dan materi rancangan perubahan yang terdiri atas rumusan, berupa alternatif-alternatif karena belum tercapainya kesepakatan oleh fraksi-fraksi majelis.Kedua,terdapat penulisan huruf berbeda-beda pada rancangan perubahan ketiga UUD 1945 yang menggambarkan perubahan status materi. Materi yang dicetak dengan huruf tegak tebal merupakan materi yang akan dibahas dan diputuskan pada sidang tahunan 2001, materi yang dicetak dengan huruf tegak tipis merupakan hasil sidang umum 1999 dan sidang tahunan 2000.

B. MEKANISME PEMBAHASAN AMANDEMEN KETIGA

Satu hari menjelang ST MPR 2001 dilaksanakan, digelar pertemuan informal lintas fraksi, pertemuan tersebut diadakan untuk menghindari terjadinya perdebatan yang tajam dam melelahkan pada ST 2001 menyangkut materi amandemen ketiga UUD 1945, 11 fraksi yang ada di MPR telah membuat suatu konsensus.Salah satu konsensus yang berhasil dicapaii oleh ke-11 fraksi tersebut adalah terkait dengan tidak akan disahkannya bab-bab yang mendasar dalam rancangan amandemen ketiga UUD 1945.

C. PEMBAHASAN DI TINGKAT KOMISI A

Komisi A di bentuk berdasarkan Keputusan MPR No. VII/MPR/2001 yang mempunyai tugas memusyawarahkan dan mengambil keputusan mengenai rancangan perubahan UUD 1945, dan usulan rancangan ketetapan MPR tantang Pembentukan Komisi Konstitusi.

D. PEMILIHAN PRESIDEN SECARA LANGSUNG

Hampir mayoritas fraksi MPR di komisi A ST MPR 2001 menginginkan pemilihan presiden langsung oleh rakyat,baik putaran pertama maupun putaran kedua untuk memenuhi persyaratan 50% plus satu.MPR hanya menetapkan dan melantik presiden dan wakil presiden .

E. PRO-KONTRA KOMISI KONSTITUSI

Salah satu yang mendapat sorotan tajam adalah peranan suatu komisi ini sempat menjadi wacana yang cukup menarik perhatian publik.Bahkan, sempat memberi optimisme karena mendapat dukungan dari beberapa fraksi.Namun, rupanya sebatas wacana karena tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menuntaskannya.

F. CATATAN ATAS AMANDEMEN KETIGA

Kegagalan MPR untuk mengesahkan materi amandemen UUD 1945 menyangkut susunan keanggotaan MPR; peranan MPR memilih presiden dan wakil presiden dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, dalam hal tidak ada pasangan yang terpilih pada pemilihan umum; posisi utusan golongan pengisian kekosongan jabatan presiden dan wakil presiden; DPA; mata uang dan Bank sentral, yang semua hal ini ditugaskan pada Badan Pekerja MPR untuk diselesaikan pada Sidang Tahunan MPR 2002, berpengaruh langsung terhadap penilaian publik kepada MPR khususnya menyangkut keseriusan MPR dalam melanjutkan proses amandemen UUD 1945.

BAB VIII
AMANDEMEN KEEMPAT UUD 1945

A. PRO-KONTRA PROSES AMANDEMEN

Setelah mengalami 3 kali amandemen ternyata undang-undang masih belum sempurna maka terjadilah perubahan ke empat yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2002, ternyata banyak menimbulkan reaksi dan protes karena akan menyentuh pasal 29 dan 33 UUD 1945. ada tga pemikiran yang berkembang dalam merespon perubahan undang-undang I, II, III yaitu; pertama, perubahan UUD 1945 telah kebablasan. Penilaian ini secra terbuka di usung Gerakan nurani Parlemen dan Forum Kajian Ilmiah Konstitusi (FKIK). Alasan yang dikemukakan kelompok ini karena perombakan mendasar yang dilakukan MPR tidak sesuai tuntutan reformasi yang hanya menghendaki dilakukan penyempurnaan terbatas UUD 1945. kedua, melanjutkan proses perubahan keempat karena sudah menjadi amanat dalam Tap..Nomor XI/MPR/2001 bahwa masih dipanj\dang perlu melanjutkan perubahan UUD 1945 dalam ST 2002. ketiga melihat kelemahan-kelemahan dalam tiga kali perubahan yang telah dilakukan perubahan UUD 1945 tetap harus berujung pada pembuatan konstitusi baru. Kelompok ini adalah kelompok koalisi ornop untuk konstitusi baru. Matori Abdul Djalil, meminta agar pembahasan amandemen tersebut ditunda, karena telah banyak menimbulkna pro dan kontra yang membuat kondisi semakin tidak kondusif dan sedikit memanas. Tapi Amin Rais menyatakan jika amandemen terganjal akan terjadi persoalan serius dalam proses ketata negaraan Indonesia pada masa mendatang.

B. “ANCAMAN” KEGAGALAN PROSES AMANDEMEN

Ditengah pembahasan oleh PAH I BP MPR, gerakan penolakan amandemen keempat UUD 1945 terus berlanjut, tanggal 8 April 2002, dua orang anggota FDIP DPR/MPR Amin Aryono dan Sadjarwo Sukardiman, Beserta Prof. Usep Ranuwijaya dari FKIK dan Sri Mulyono Herlambang ari Fraksi utusan Golongan (FUG), mengirimkan surat kepada ketua PAH I BP MPR untuk menghentikan proses amandemen. Dengan alasan bahwa PAH I hakekatnya bukan mengamandemen, melainkan sudah merombak struktur dan sistem kenegaraan menurut UUD 1945, bahkan telah membuat UUD baru sebagai contoh dalam teks asli disebutkan “kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” setelah dirombak menjadi “kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Kemudian ada pengumpulan tanda tangan menolak amandemen keempat dimotori Siti Hartati Murdaya dari FUG dan senbanyak 200 tanda tangan terkumpul. Tapi pro-kontra atas rencana amandemen keempat tidak mengurangi tekad PAH I BP MPR untuk melanjutakn amandemen UUD 1945, dan akhinya banyak terlahir pasal-pasal yang telah disepakati hasil amandemen keempat.

BAB IX
PERDEBATAN DISEPUTAR KEKUASAAN DPD

Empat tahun pascaamandemen UUD 1945, ternyata masih banyak kritikan dari berbagai pihak salah satu kritikan yang sangat penting adalah menyangkut masalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagai lembaga legislatif ditingkat pusat. Kritikan tersebut sudah diinformasikan dalam bentuk rencana amandemen terhadap pasal 22D UUD 1945 yang digagas oleh DPD periode 2004-2009. Amandemen ini tidak terlalu mendapat respon positif dari beberapa kalangan, dengan argumen masih terlalu awal untuk melakukan amandemen, karena DPD belum juga bertugas sudah minta kewenangan baru. Tapi ada juga yang mendukung diantaranya FPD, FPKS dan DPD sendiri. Amandemen kelima akan menjadi pekerjaan bagi MPR karena yang mendukung DPD berjumlah 230 orang sydah memenuhi pengajuan perubahan UUD 1945. Selain menyempurnakan ternyata hal ini juga diinspirasi oleh pasal 1 ayat (1) konstitusi Amerika Serikat. Yang memberikan kewenangan yang jelas dan tegas kepada senat (DPD) jauh berbeda dengan pengaturan DPD yang terdapat dalam UUD 1945 pasal 22D UUD 1945 yang tidak jelas dalam mengatur fungsi dan wewenang, serta kedudukan DPD. Pengaturan DPD dalam pasal 22D menimbulkan beberapa implikasi. Pertama, DPD tidak memiliki kekuasaan dalam pembentukan undang-undang dan meghilangkan hak inisiatif yang semestinya melekat di DPD sebagai parlemen ditingkat pusat. Lebih jauh lagi, pasal 22D memperkuat kekuasaan yang dimiliki DPR, yang terdapat pada pasal 20 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “dewan perwakilan rakyat memegang kekuasaan membentk undang-undang”. Kedua, pasal 22D mengamputasi peran serta masyarakat daerah dalam penyelenggaraan negara yang sebenarnya ingin disalurkan melalui institusi DPD. Ketiga, pengaturan DPD dalam UUD 1945 keluar dari konsep bicameral system. Bahkan house of lords di Inggris, diberikan hak untuk melakukan perubahan-perubahan.
Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, hasil perubahan pertama oleh MPR tahun 1999, DPR adalah lembaga yang berwenang membentuk undang-undang, sedangkan DPD, sebagaimana ditentukan pengaturannya dalam Bab VIIA UUD 1945 hasil perubahan ketiga tahun 2001 itu, hanya memiliki kewenangan terbatas untuk memberikan pertimbangan mengajukan usul saran kepada DPR dan mengawasi pelaksanaan UU tertentu.terlepas dari ketidakpuasan sebagian kalangan pengusung gagasan “bicameralism” begitulah kenyataan yang harus diterima, yaituperan Dewan Perwakilan Daerah tidak sekuat Dewan Perwakilan Rakyat.
Membaca rumusan ketentuan mengenai DPD dalam Bab VIIA UUD 1945 tersebut, maka dapat dipahami bahwa:
1. Di Bidang Legislasi
DPD mempunyai fungsi sebagai pengusul di bidang-bidang tertentu, sebagai ko-pembahas RUU tertentu dan sebagai pemberi pertimbangan atas perancangan dan pembahasan RUU di bidang-bidang tertentu.
2. Di Bidang Pengawasan
Merupakan pengawas pelaksanaan undang-undang tertentu.
3. Di Bidang Anggaran
Merupakan pemberi pertimbangan tertulis, baik kepada pemerintah dalam rangka perancangan maupun kepadaDPR baik dalam rangka perancangan maupun dalam rangka pembahasan RUU APBN dengan menjadikan laporan keuangan BPK sebagai salah satu bahan utama.
Tugas dan wewenang DPD yang berkaitan dengan DPR
1. dapat mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah, pengembangan sumber daya alam dan sumbar daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2. ikut membahas RUU, sebagaimana dimaksud diatas bersama DPR dan pemerintah, maupun atas inisiatf DPD.
BAB X
EPILOG; “MENIMBANG” UUD 1945 PASCA AMANDEMEN

Pergulatan reformasi konstitusi 1998-2002 memiliki arti strategis dalam pembenahan sistem ketatanegaraan indonesia.Wajar jika banyak kalangan menilai bahwa agenda paling mendasar dalam proses transisi menuju demokrasi adalah reformasi konstitusi sebagai syarat utama dari sebuah negara demokrasi konstitusional.
Sejauh ini memang terdapat perbedaan pandangan yang mendasar di tengah masyarakat. Perbedaan pandangan tersebut terletak dalam memandang UUD 1945 di dalam sejarah kebangsaan Indonesia yang menjadi dasar pijakan bagi proses amandemen

Related Articles :


Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook

0 komentar:

Posting Komentar

 



"Terima kasih sudah berkunjung"

KUMPULAN ARTIKEL & HADIS-HADIS ROSULULLOH Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha